Garuda di dadaku,
garuda kebanggaanku,
ku yakin hari in [caption id="attachment_203266" align="alignright" width="480" caption="Sumber foto: http://dindaagustriyana.wordpress.com/2010/12/29/garudadidadaku/"]
[/caption] i pasti menang
Lagu Band Netral yang menggema di ajang piala AFF tak lagi terdengar oleh kita. Lagu yang sempat mengugah nasionalisme kita, yang membuat kita merasa bangga memiliki Timnas seheroik Timnas “Garuda” dalam piala AFF tidak lagi kita rasakan, Semua pudar, tak ada lagi lagu seperti itu menggemuruh di stadion kala menjamu Tim-tim tamu dari berbagi Negara. Stadion cenderung sepi supporter, yang ada hanya sebuah ungkapan pesimis “halah, pasti kalah.”
Itulah mungkin ekspresi kekecewaan masyarakat bola teradap Timnas saat ini. Jangankan mengukir prestasi, memenangi laga internasional pun hampir bisa dikatakan tidak pernah. Catatan statistik mengatakan Timnas Indonesia lebih banyak mengalami kekalahan dari pada memenangkan pertandingan dalam berbagai laga internasional, baik yang bersifat kompetisi resmi ataupun sekedar laga persahabatan. Kemenangan terakhir Timnas Indonesia masih kita ingat diperoleh hanya pada laga persahabatan melawan Brunei Darussalam – yang notabene jauh di bawah level Timnas Indonesia.
Maka dengan hasil tersebut masih adakah alasan untuk membanggakan Timnas Indonesia saat ini? kalaupun ada, hanyalah sebatas pelipur lara sambil berharap (siapa tau) ada kemajuan. Walaupun pada akhirnya kekecewaan tidak dapat disembunyikan ketika menyaksikan hasil akhir pertandingan yang lebih cenderung mengecewakan. Barangkali, inilah akibat dari keterburu-buruan masyarakat dalam mengambil sikap. Di saat Timnas Indonesia bisa dikatakan mulai bangkit di tangan Alfred Riedl (lagi lagi mengacu AFF), masyarakat justru silau dengan isu Nurdin Halid. Masyarakat lebih sibuk memikirkan cara menggulingkan Nurdin Halid dari pada konsen memikirkan Timnas yang semakin matang di tangan Alfred Riedl.
Lebih dari itu, masyarakat tampaknya juga silau dengan kemunculan IPL (Indonesian Primer Ligue) yang digadang-gadang lebih baik dari ISL (Indonesia Super Ligue). IPL dianggap menjadi awal dari perubahan tanpa berfikir bahwa sebenarnya itulah awal dari perpecahan yang semakin “menenggelamkan” timnas. Dan hasilnya, Timnas benar-benar tenggelam. “Garuda” pun tertidur lesu, masyarakat lesu, semuanya lesu seakan tidak lagi memiliki harapan untuk Timnas.
Pertandingan demi pertandingan dilalui oleh Timnas dengan perasaan supportrer yang tidak bergairah. Stadion sepi, pemain terus digonta-ganti, pemain veteran dimasukkan lagi dalam Timnas, namun hasilnya tetap sama, “mengecewakan”. Parahnya, sang pelatih masih saja dipertahankan dan dipercaya untuk melatih Timnas. Sungguh, inilah mungkin sejarah tragis dari sepak bola kita yang harus menjadi pelajaran di masa mendatang. Bahwa “menandingi” sesungguhnya bukanlah sebuah solusi, malainkan menambah masalah baru yang semakin rumit.
Namun demikian, sebagai masyarakat yang tetap cinta teradap Indonesia, kita tentu masih berharap ada jalan untuk Timnas yang lebih baik, ada cara untuk membangunkan tidur sang “Garuda”. Agar timnas benar-benar menjadi Timnas Garuda yang disegani oleh Tim-tim dari negara lain dikawasan (minimal) AFC. Memainkan dan memenangkan laga dengan hasil yang sempurna.
So, tanpa arus menculkan masalah baru lagi, dengan PSSI tandingan, Timnas tandingan, dan segala tetek bengeknya, kita berharap kepada Djohar Arifin, sebagai ketua PSSI harus membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya memang lebih layak dari Nurdin Halid. Atau kepada IPL (anak emas PSSI saat ini), atau juga, kepada Nil Maizar yang kini menangani Timnas Indonesia. Buktikan bahwa sepakbola indonesia mampu lebih baik pasca lengsernya Nurdin Halid. Bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H