Mohon tunggu...
Suci Rahayu
Suci Rahayu Mohon Tunggu... -

I'm an ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelajaran Seks dari Raja Jawa

17 Mei 2011   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:33 6885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Rahayu Masun

[caption id="attachment_108195" align="aligncenter" width="300" caption="Serat Centhini dalam Aksara Jawa (Baltyra.com)"][/caption] . Pengertian seks jika dibatasi pada alat kelamin semata, tentu terlalu dangkal, karena akan menafikan kenyataan-kenyataan fisiologis sebagaimana dikupas dalam buku-buku ilmiah kedokteran. Sebaliknya, jika diartikan sebagai persetubuhan saja, tentu terlalu naif, karena akan mengesampingkan realita cumbu rayu, rangsangan-rangsangan pada daerah erotis, mantra-mantra seksual dan cinta kasih. Arti seks harus menyangkut semua hal tersebut, bahkan mencakup tentang asal usul kehidupan dan ketuhanan. Inilah antara lain pandangan Serat Centhini tentang seks (Purwadi, 2004). . Manuskrip Seks Paling Indonesia Serat Centhini bisa jadi adalah satu-satunya manuskrip kuno karya asli orang Indonesia yang secara gamblang menguraikan tentang berbagai aspek dan dimensi seks. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Serat Centhini adalah manuskrip seks Paling Indonesia, atau Kamasutra-nya Indonesia. Manuskrip ini mulai ditulis pada Januari 1814 oleh tim pengarang Keraton Surakarta yang terdiri dari Adipati Anom Amengkunegara atau Paku Buwana V, Ki Ngabehi Rangga Sutrasna, Ki Ngabehi Yasadipura II dan Ki Ngabehi Sastradipura, pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820). . Serat Centhini ditulis tangan dalam Bahasa Jawa dan merupakan karya terbesar dalam kepustakaan klasik Indonesia karena tebalnya mencapai 4.200 halaman folio, yang terbagi dalam 12 jilid, memuat 28 golongan ilmu pengetahuan pokok yang terbagi dalam 166 bagian kecil. Kajian mengenai pelbagai ilmu percintaan, persetubuhan, prenatalis manusia yang berhubungan dengan ilmu persetubuhan, dan kisah-kisah porno cinta asmara yang mendebarkan, tersaji sebagai ilmu asmara, dan disajikan dalam jilid V sampai jilid IX. Konon, bagian ini digubah sendiri oleh Paku Buwana V. . Mengupas Seks dalam Berbagai Aspek dan Dimensi Dalam Serat Centhini masalah seksual menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal tanpa tedeng aling aling, paradoksal dengan etika sosial Jawa yang dikenal puritan dan ortodoks. Masalah seks dibicarakan dalam berbagai versi dan kasus, seperti, menyangkut pengertian, sifat, kedudukan, fungsi, etika dan tata cara bermain seks, dan gaya (style) persetubuhan. Seks juga dibicarakan dalam banyak varian lainnya, misalnya, hubungan seks dengan perkawinan, seks dengan kesetiaan suami-istri, seks dengan pengobatan, seks dengan pemerkosaan, seks dengan pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, seks dengan asal usul kehidupan dan ilmu kasunyatan. . Seks sebagai ekspresi pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, dalam pandangan Jawa, berlaku agregrasi atau bentuk hubungan antara kecantikan perempuan dengan kewibawaan lelaki yang bersifat politis. Kecantikan dipandang sebagai lelangen, dan berlaku asumsi, jika raja semakin banyak memiliki istri yang cantik, maka semakin meningkatlah derajat kewibawaannya. Hal ini juga tersurat dalam Serat Cemporet, karya R. Ngabehi Ranggawarsita, pujangga Keraton Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwana V hingga Paku Buwana IX, disebutkan bahwa bagi bangsawan luhur, perempuan merupakan lelangen (hiasan), tanpa memilih atau melihat-lihat dari mana asal usul silsilah keturunannya, asalkan perempuan itu memiliki kecantikan yang hebat, ia akan dapat menambah kawibawan (kewibawaan) lelaki. . Aspek Fisik dan Nonfisik dalam Seks Aspek penampilan luar (fisik) yang bersifat genital pada tubuh perempuan juga menjadi fokus perhatian yang lebih selain penampilan nonfisik. Hal seperti ini juga tampak pada budaya katuranggan yang sedemikian konkret mengapresiasi wacana ketubuhan. Budaya katuranggan, misalnya, bisa ditemukan dalam tradisi gemblak pada kultur warok Ponoragan. Gemblak adalah lelaki yang berperilaku layaknya seorang wanita yang lemah gemulai (baca: transgender) dan menjadi patner sang warok dalam bercinta. . Adapun aspek nonfisik menjadi fokus perhatian, misalnya, dalam urusan memilih istri. Dalam pandangan Jawa, istri yang baik harus berwatak; (1) sama, memiliki welas asih kepada sesama; (2) beda, mampu memilah apa yang lebih penting yang hendak dilakukan; (3) dana, suka memberi kesenangan kepada sesama; (4) dhendha, mampu menilai yang baik dan buruk atas dasar empan-empan (tempat, keadaan, situasi, dan kondisi); (5) guna, mengerti wewenang dan kewajiban terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perempuan; (6) busana, mengetahui dan menerapkan semua yang dimiliki sesuai maksud dan situasi; (7) asana, bisa menata dan memelihara rumah agar tampak baik dan menyenangkan hati; (8) sawandana, mampu menyelaraskan keinginan lahir dan batin, dalam meladeni suami seperti meladeni diri sendiri; (9) saekapraya, mampu menyelaraskan keinginan diri sendiri dengan keinginan suaminya; dan (10) sajiwa, memiliki kesetiaan kepada suami seperti kesetiaan kepada dirinya sendiri. Terminologi lain yang juga dipakai ialah bobot, bibit dan bebet. . Pelajaran Seks dari Raja Jawa Ajaran bercinta dalam pandangan Jawa meliputi; (1) asmaranala atau sengseming nala, dua insan yang bercinta hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang tumbuh dalam hati; (2) asmaratura atau sengseming pandulu, dua insan yang becinta hendaknya dilandasi oleh rasa saling ketertarikan kepada kecantikan dan ketampanan pasangannya; (3) asmaraturida atau sengseming pamirengan, dua insan yang bercinta hendaknya larut dalam sendagurau mesra; (4) asamaradana atau sengseming pocapan, bahwa syair, puisi dan kata-kata indah -pujian terhadap kekasihnya- hendaknya dilantunkan oleh sepasang kekasih untuk menumbuhkan cinta kasih agar semakin bergelora; (5) asmaratantra atau sengseming pangarasan, bahwa ciuman merupakan mantik birahi yang dahsyat, karenanya sepasang kekasih yang bercinta hendaknya mempelajari teknik-teknik berciuman; (6) asmaragama atau sengseming salulut, bahwa puncak dari karonsih (bercinta) adalah salulut, yaitu masuknya penis kedalam vagina, untuk itu perlu dipastikan kesiapan masing-masing agar mampu memberikan kenikmatan paripurna. . Dalam kitab klasik Jawa, unsur laki-laki dipandang sebagai upaya atau alat mencapai kebenaran yang agung. Sedang wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Oleh karena itu persetubuhan dipahami sebagai bakti seorang istri kepada suaminya, dan merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya. Puncak ajaran serta penghayatan seks dalam tradisi Jawa, sebagaimana tersebut dalam Serat Centhini pupuh asmaradana, untuk mengetahui asal usul kamanusiaan dan tujuan kesempurnaan hidup manusia. Hal yang sama juga dikatakan Jakob Sumardjo (2002) ketika membahas Serat Gatholoco, bahwa seks merupakan penyatuan antara dua oposisi yang sebenarnya adalah pasangan binernya, baik pasangan dalam mikrokosmos, makromosmos maupun metakosmos. Semua pasangan biner menyatu dalam satu kesatuan yang harmonis. Karenanya, yang laki-laki dan yang perempuan akhirnya harus melebur manjadi satu kesatuan. Inilah harmoni total. . Akhirnya, tidak bisa dipungkiri bahwa Serat Centhini adalah manuskrip seks Paling Indonesia, juga paling lengkap karena mengupas seks dari berbagai aspek dan dimesinya. Bahkan, kita juga bisa katakana bahwa Serat Centhini merupakan pelajaran seks dari Raja Jawa mengingat sang penulis adalah Paku Buwana V, Raja Jawa dari Keraton Surakarta.*** . R Masun, Minamiuonuma-shi, 17 Mei 2011

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun