Mohon tunggu...
Suci Rahayu
Suci Rahayu Mohon Tunggu... -

I'm an ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membudayakan Tradisi Menulis di Sekolah

5 Mei 2011   09:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya memperkenalkan ilmu kepenulisan kepada pelajar melalui Workshop Jurnalistik oleh institusi yang terlibat secara langsung dalam kegiatan jurnalisme, misalnya, oleh Majalah Horison melalui Program SMS (Sastra Masuk Sekolah) dan Koran Kompas Biro Jawa Timur melalui Workshop Jurnalistiknya pada 2006 menginspirasi institusi pendidikan melakukan hal serupa. Apalagi selama ini kompetensi kepenulisan cenderung terabaikan oleh sekolah sehingga kreativitas peserta didik dalam menulis sangat lemah. Akibatnya tingkat partisipasi anak didik dalam pelbagai perlombaan kepenulisan pun cukup rendah.

Mengingat menulis adalah kompetensi yang akan dibutuhkan peserta didik di kemudian hari setelah lulus, maka sekolah sudah semestinya bertanggungjawab mengembangkan kompetensi tersebut pada peserta didik. Untuk itu perlu digagas upaya pembudayaan tradisi menulis di sekolah termasuk bagi guru. Karena, tanpa ada tradisi menulis pada guru maka pembudayaan tradisi menulis pada peserta didik akan menghadapi kesulitan. Tapi bukan berarti seorang guru harus menjadi penulis profesional. Yang dimaksud dalam konteks ini adalah seorang guru dituntut minimal menguasahi cara menulis yang baik, dan mampu menerapkannya sehingga pengalaman proses kreatifnya bisa diajarkan kepada peserta didik.

Secara operasional tradisi menulis pada peserta didik bisa dibudayakan di sekolah melalui beberapa cara. Pertama, mengajarkan kompetensi menulis melalui pelajaran seni dan budaya. Hal ini dimungkinkan karena Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 36 ayat 3 huruf c menyatakan bahwa kurikulum harus disusun dengan memperhatikan peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik. Karena menulis adalah bagian dari potensi dan minat peserta didik, maka UU Sisdiknas memberi peluang pengembangan potensi dan minat jurnalistik dalam kurikulum pada pendidikan dasar dan menengah sebagai bagian dari seni dan budaya (pasal 37 ayat 1 huruf g). Pelajaran ini dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya melalui jurnalisme. Sayangnya, pelajaran seni dan budaya di banyak sekolah saat ini belum memasukan jurnalistik sebagai materi pembelajaran.

Kedua, mengajarkan menulis melalui pelajaran khusus jurnalistik sebagai pelajaran muatan lokal. Hal ini dimungkinkan karena UU Sisdiknas mengamanatkan kurikulum pada pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j). Untuk itu sekolah beserta komite sekolah dibawah koordinasi dan supervisi instansi terkait diperkenankan mengembangkan kurikulum yang dinilai relevan untuk sekolahnya masing-masing (pasal 38 ayat 2). Ini berarti pelajaran khusus jurnalistik bisa mulai dikenalkan dan atau diajarkan di sekolah dasar dan menengah, mengingat jurnalistik merupakan kecakapan hidup yang akan dibutuhkan di banyak bidang kehidupan (tidak saja di bidang kewartawanan) bagi peserta didik setelah lulus kelak.

Ketiga, membiasakan peserta didik dengan kegiatan menulis melalui tugas mengarang (menulis) pada setiap mata pelajaran, apapun mata pelajarannya. Anggapan bahwa tugas menulis hanya layak diberikan oleh guru bahasa adalah keliru dan harus ditinggalkan. Kaedah mendasar semua ilmu adalah dapat dijelaskan dan dikomunikasikan, dan salah satu cara untuk itu adalah dengan tulisan. Oleh karena itu setiap objek pengetahuan dari disiplin ilmu apapun akan dapat dinarasikan dalam bentuk tulisan. Jadi dengan demikian seorang guru matematika pun bisa dan layak memberi tugas menulis bagi peserta didiknya. Misalnya, menarasikan mengenai aplikasi limit dan integral dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah (1) tema dan objek tulisan harus sesuai dengan kurikulum yang ada, (2) jenis dan panjang tulisan disesuai dengan kesiapan, kemampuan, dan kelonggaran waktu peserta didik, dan (3) frekuensi penugasan hendaknya diatur agar tidak memberatkan peserta didik, namun juga tidak terlalu jarang diberikan.

Keempat, membiasakan peserta didik dengan kegiatan menulis melalui kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik dengan menerbitkan media sekolah (majalah, tabloid, atau majalah dinding). Jika belum tersedia ekstrakurikuler jurnalistik maka upaya membiasakan kegiatan menulis bisa diboncengkan melalui kegiatan ekstrakurikuler lain yang telah ada. Kepada peserta didik yang tergabung dalam kelompok pencinta alam bisa ditugasi menuliskan pengalaman ekspedisi yang telah mereka lakukan. Kepada peserta didik yang mengikuti ekstrakurikuler teater bisa diwajibkan membuat naskah pementasan. Dan kepada peserta didik yang tergabung dalam Palang Merah Remaja bisa ditugasi membuat artikel kesehatan. Dalam hal ini prinsipnya adalah bahwa tema dan objek tugas menulis harus disesuaikan dengan bidang kegiatan ekstrakurikuler yang diboncengi. Dengan demikian tanpa disadari proses pembelajaran kepenulisan akan terintegrasi dalam kegiatan peserta didik.

Kelima, merangsang kreativitas peserta didik dalam menulis melalui kegiatan perlombaan kepenulisan. Ada banyak agenda perlombaan kepenulisan yang diadakan setiap tahun yang bisa diikuti. Di tingkat nasional ada Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja yang diadakan LIPI, Lomba Karya Tulis Ilmiah Produktif yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional, dan lomba penulisan cerpen yang diadakan Pusat Bahasa Nasional. Selain itu ada juga perlombaan kepenulisan insidental yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian, penerbit, atau institusi lain di tingkat nasional atau lokal. Seorang guru dituntut berperan sebagai motivator dan fasilitator yang baik bagi peserta didik agar mereka turut berpartisipasi dalam perlombaan-perlombaan tersebut. Selain itu sekolah harusnya juga berinisiatif mengadakan perlombaan kepenulisan bagi peserta didiknya bertepatan dengan momentum tertentu yang dianggap penting bagi sekolah. Misalnya, momentum ulang tahun sekolah, momentum class meeting pasca-ujian semester, atau pada hari-hari besar nasional.

Keenam, merangsang kreativitas peserta didik dalam menulis melalui budaya baca. Praduga bahwa tradisi menulis pada peserta didik lemah diakibatkan oleh kurangnya kebiasaan baca pada mereka ada benarnya. Mohammad Diponegoro (1994) memaparkan bahwa tugas penting penulis adalah membaca. Kegiatan ini diperlukan untuk membuka diri terhadap cakrawala dan pikiran baru agar peserta didik tertantang untuk merefleksikan pandangannya mengenai tema tertentu dalam bentuk tulisan. Upaya ini pada akhirnya menuntut dicukupinya sarana baca yang layak bagi mereka, baik jumlah judul bacaan maupun jumlah eksemplarnya. Namun ironinya kondisi perpustakaan di banyak sekolah kita justru sangat memprihatinkan.

Akhirnya, kita mesti sadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika sudah diniati dan dimulai. Itu berarti angan-angan terlahir generasi yang lebih melek tulisan secara aktif (baca: bisa menulis) adalah bukan sesuatu yang jauh panggang dari api.***

[R Masun] 6 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun