Sebetulnya saya menulis tulisan ini untuk dikirimkan ke situs lain, namun karena sampai saat ini belum ada follow-up, jadi saya rasa saya akan post di sini saja.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bayangkanlah sebuah dunia di mana semua orang bisa secara persuasif dirangkul dengan damai. Mungkin tidak ada akan ada tragedi Bosnia, tidak akan ada ISIS, bahkan tidak ada pembunuhan, pemerkosaan dan juga pelecehan. Karena si calon korban tinggal merangkul sang calon pelaku dan memberi wejangan kepadanya bahwa yang ia lakukan tidaklah baik di mata agama maupun di mata hukum. Namun sayangnya dunia tidaklah beroperasi seperti itu.
Di dunia ini ada banyak sekali orang, masing-masing dari mereka mempunyai pemikiran yang berbeda, tujuan yang berbeda dan motif yang berbeda. Apabila hanya dengan pendekatan persuasif masalah akan selesai maka dunia ini sudahlah aman dari perang dan tindak kejahatan dari jaman dahulu kala. Industri senjata pun akan lenyap diganti dengan toko-toko penjual bunga.
Kemarin malam saya tergelitik dengan salah satu acara TV swasta. Acara itu diberi judul “FPI menyerang, Ahok melawan”. Beberapa orang di acara tersebut mengkritik gaya kepemimpinan Ahok. Beliau disebut tidak mempunyai tata krama dan mempunyai mulut yang mengeluarkan bahasa rendahan. Salah satu kalimat Ahok yang dipertanyakan dalam acara tersebut adalah instruksinya untuk melakukan tembak di tempat bagi pelaku anarkisme.
Saya ingat betul saya pernah membaca pernyataan beliau yang satu ini. Namun karena tidak ada yang menarik bagi saya, maka saya anggap berita ini angin lalu, karena saya sudah cukup bosan dengan pemberitaan salah satu media darling ini.
Mungkin ada yang salah dengan hati dan otak saya karena saya menganggap hal ini tidaklah menarik. Namun kemarin malam saya mencoba menelusuri berita ini lagi dari beberapa sumber yang berbeda. Hasilnya tetap sama, tidak ada yang begitu menarik bagi saya. Dari beberapa sumber berita tersebut saya bisa menyimpulkan beberapa poin, di antaranya adalah:
1.Tembak di tempat adalah usul Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Sudjarno.
2.Ahok mengapresiasi usulan tersebut.
3.Tembak di tempat diwacanakan bagi mereka yang anarkis.
Sampai di sini saya tidak menemukan ada hal yang salah dengan pernyataan Bapak Wakapolda dan Bapak Ahok. Saya rasa anda pun sudah bisa menyimpulkannya apabila anda membaca dua paragraf awal tulisan ini.
Saya ingat dulu saya pernah menonton salah satu film dari Silvester Stallone, saya lupa judulnya. Namun ada salah satu adegan yang membekas di hati saya. Kurang lebih begini. Di suatu minimarket masuklah seorang pelaku kriminal, ia ingin merampok minimarket tersebut. Polisi pun berdatangan untuk menghentikannya, namun karena di dalam minimarket ada banyak pengunjung maka keadaan sedikit rumit karena dikhawatirkan si pelaku kriminal akan melakukan tindakan yang membahayakan sandera yang ada di dalam. Singkat cerita Silvester Stallone yang gagah berani menaklukan si penjahat dengan menembak penjahat itu hingga ia kehilangan nyawanya. Sampai di sini tidak ada yang menarik memang, namun saat sang jagoan keluar minimarket ia diburu para wartawan dan salah satu dari mereka memprotes tindakannya yang menghilangkan nyawa pelaku, karena menurut mereka tidak seharusnya Silvester membunuh sang penjahat. Silvester pun berang kemudian menarik kerah kemeja si wartawan, mendekatkan wajah si wartawan ke salah satu tubuh terbujur kaku yang sedang dibawa masuk ambulance, membuka kain putih yang menyelimuti wajah si pemilik tubuh itu, dan dengan nafas penuh amarah ia mengatakan “HAM? Katakanlah hal itu pada keluarga si mayat ini.”
Hak Asasi Manusia adalah hal yang sensitif. Namun sungguh sangat disayangkan bahwa ia sering dieksploitasi demi kepentingan suatu kelompok. Yang anehnya lagi terkadang kelompok yang HAM-nya dibela dan diperjuangkan adalah kelompok yang menafikan HAM kelompok yang lain. Maka sesungguhnya HAM siapakah yang harus dibela? Saya rasa ini adalah sebuah pertanyaan bagi kita semua.
Saya tidak menampik bahwa Ahok terkadang tidak bisa memilah kata, saya pun mendapati ia sempat berkomentar seksis1. Ahok bukan juga seorang pujangga, ia terkadang berkejar-kejaran dengan kata-katanya berusaha untuk menangkap kata yang tepat namun lebih sering ia gagal melakukannya. Saya juga harus akui bahwa (tidak) ada pemimpin yang tinggi dengan bahasa yang rendah. Namun saya juga mengakui bahwa tidak semua orang mengerti bahasa yang tinggi, dan tidak semua pemimpin yang berkata dengan bahasa tinggi mencintai (dan dicintai oleh) rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H