Disadari atau tidak gerakan serikat pekerja saat ini sangat lemah ditengah persaingan pasar bebas dan perlawanan yang dilakukan oleh serikat pekerja. Lima tahun belakangan ini gerakan serikat pekerja terkesan selalu arogan, sporadis, dan reaktif saja terhadap permasalahan yang ada, serikat pekerja masih terfrakmentasi dalam setiap permasalahan yang ada. Kesadaran akan fungsi serikat pekerja sebagai alat perjuangan bukan hanya di bidang ekonomi (upah, bonus, PKB dan Kesejahteran lainnya) tapi juga bidang Sosial dan Politik (hal yang berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat dan kaitannya sebagai hak warga negara) masih belum muncul.
Stigma kiri yang dibuat oleh orde baru sering menjadikan para buruh masih takut untuk bergerak dan berpartisipasi dalam mendukung terjadinya perubahan sosial dimasyarakat dan peran ini sudah bisa terlihat efektif saat para mahasiswa bisa melakukan perubahan mendasar di Indonesia di bidang Demokrasi pada tahun 1998. Hal ini salah satunya bisa terjadi karena pola pendidikan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja masih berideologikan ekonomi (tuntutan uang) belum pada ideologi politik dan sosial seperti yang dilakukan gerakan serikat pekerja pada masa orde lama yang bisa sangat kuat mempengaruhi kebijakan negara khusunya pada pembuatan undang undang dan peraturan ketenagakerjaan yang sangat melindungi para buruh.
Disamping itu para elit buruh belum saling percaya dan timbul kesadaran bersama bahwa didepan mata sudah ada musuh bersama yang hanya bisa dilawan bila seluruh elemen serikat pekerja mulai dari tingkat basis (pabrik) sampai nasional bisa melakukan gerakan bersama. Upaya penyatuan gerakan masih dicurigai sebagai upaya kanalisasi gerakan serikat pekerja dan dipandang sebagai kepentingan sekelompok elit saja hal ini bisa jadi karena ada trauma lama saat dimunculkannya UU no 13 tahun 2003 dan UU no 2 tahun 2004 yang baik diatas kertas tapi sangat merugikan buruh pada pelaksannanya karena lemahnya fungsi penegakan hukum dan dan pengawasan oleh pihak pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja ditambah makin tidak profesionalnya tenaga pengawas sebagai dampak dari otonomi daerah.
12 tahun sudah Reformasi berjalan tapi bagi buruh dampaknya hanya sebatas ada kebebasan dalam berpendapat dimuka umum dan berunjuk rasa tapi manfaat langsung bagi para anggota belum terasa bahkan bisa dikatakan menurun karena alasan harus datangnya investasi sebagai salah satu alat pencipta lapangan kerja dan pengurangan angka pengangguran. Jaminan Sosial yang layaknya diberikan pada rakyat lewat UU no 40 tahun 2004 tidak juga dijalankan oleh pemerintah sebagai alat negara dengan berbagai alasan dan tarik ulur kepentingan diantara Badan Penyelenggara yang ada.
Saatnya fungsi Serikat Pekerja direvitalisasi bukan hanya untuk tujuan ekonomi semata tapi juga untuk tujuan sosial dan politik dan kesadaran ini harus dimulai dengan merubah cara berfikir para elit dan juga anggota Serikat Pekerja bahwa ideologi uang hanya akan meciptakan kesejahteraan semu dan perjuangan yang akan berhenti diurusan perut, padahal masih ada hal penting lainnya yang sangat berpengaruh dan bisa menguatkan ekonomi para buruh bila terwujud Jaminan Sosial dan ada wakil buruh yang bisa ikut berperan dalam penentuan kebijakan negara baik ditingkat daerah maupun nasional baik secara tidak langsung maupun langsung. Keran demokrasi sudah terbuka lebar tapi kesadaran dan cara berfikir harus mulai dirubah dengan berjuang juga untuk bidang sosial dan politik mewujudkan gerakan Serikat Pekerja dari pabrik ke publik harus mulai dilakukan mulai dari belajar/diskusi dan rapat akbar serta aksi massa untuk membuka mata pengusaha dan penguasa/Pemerintah bahwa para buruh juga punya hak untuk bisa hidup layak dan mendapatkan haknya yang sama sebagai warganegara bukan terus dimarginalkan dan diletakkan sebagai warganegara kelas 2 dan terus diekspoitasi demi keuntungan para pemilik modal dan hanya sebagai sumber wajib pajak. Keuntungan dan pajak yang didapat harus juga bisa dikembalikan pada para pekerja secara pantas bagi peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Perlawanan atas arogansi pengusaha dan pemerintah melalui perundangan yang tidak pro buruh harus dilakukan secara bersama dan berkelanjutan dan gerakan ini harus mendapat dukungan penuh dari para pekerja ditingkat basis (pabrik) dengan aksi massa yang terorganisir dan konsisten. Perjuangan untuk hidup layak tidak cukup hanya dilakukan didalam perusahaan tapi juga harus melewati batas tembok perusahaan.
Karenanya mulai dari sekarang seluruh perangkat organisasi harus mulai bergerak menyadarkan kembali dan melakukan revitalisasi fungsi Serikat Pekerja, waktunya untuk melakukan perubahan dan membangun rasa saling percaya khususnya pada elit buruh bahwa hanya dengan gerakan bersama dan persatuan para buruhlah kesejahteran bisa terwujud. Peran Pemerintah juga dituntut lebih tegas untuk menghidupkan iklim yang lebih kondusif sebagai mediator handal dan pemegang kebijakan antara buruh dengan penguasa.
Pada era saat ini terlalu banyak serikat pekerja yang ada karena dinilai terlalu mudah bagi para buruh untuk membentuk serikat tersebut tanpa ada peraturan yang jelas. Dengan berkumpulnya 10 orang maka sudah bisa membentuk serikat pekerja. Tidak mengherankan disetiap pabrik terdapat beberapa serikat pekerja. Karena dengan membentuk serikat pekerja para buruh memiliki akses lebih baik kepada Pemerintah maupun Pengusaha untuk mepengaruhi kebijakan yang berdampak sistemik terhadap nasib buruh. Seharusnya Pemerintah mampu menjembatani masalah ini dengan cara melakukan verifikasi data dan anggota serikat pekerja minimal 1 tahun sekali, untuk mencegah menjamurnya serikat pekerja di Indonesia.
Â
Â
Sejarah mengajarkan kepada kita 1 hal penting dan nyata:
Awal kehancuran dari sebuah gerakan adalah
ketika gerakan itu gagap dalam menghadapi sebuah realita.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H