Mohon tunggu...
Rey Prameshwara
Rey Prameshwara Mohon Tunggu... -

Silent like a misty lake...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mereduksi Karya Sastra: Antara Kritik dan Kebebasan

28 Desember 2011   10:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

[caption id="attachment_159649" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] ***** "Di Kompasiana tidak ada karya sastra. Dan tidak ada sastrawan." Kalimat yang dituliskan oleh George Soedarsono Esthu itu boleh jadi membuat banyak orang terperangah dan menimbulkan silang pendapat. Apakah benar di Kompasiana tidak ada karya sastra dan sastrawan? Aku melihat bahwa apa yang dilontarkan oleh George Soedarsono Esthu itu sebenarnya merupakan sebuah ungkapan kegundahan terhadap perkembangan kesusastraan tanah air secara umum dan kesusastraan pada media internet secara khusus. Jika kita mau jujur dan objektif mencermati kondisi dunia sastra tanah air saat ini maka kita akan melihat sebuah kenyataan yang mengagumkan. Ada begitu banyak semangat dan potensi yang muncul namun sebagian besarnya seakan-akan kehilangan arah. Tentunya ada sesuatu hal sehingga seperti itu. Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan yang penuh dengan dinamika, sebuah samudra luas tak bertepi. Ketika seseorang terjun ke dalamnya maka pilihannya adalah mengapung di permukaan ataukah menyelaminya hingga jauh ke dasarnya. Layaknya sebuah mutiara, keindahannya hanya dapat diperoleh ketika kita menyelam hingga ke celah-celah karangnya yang tajam. Tentu saja untuk sampai ke sana bukanlah sebuah proses yang mudah. Ketika sebuah karya dilepaskan, maka suka atau tidak, karya itu akan menghadapi apa yang namanya kritik, mulai dari kritik yang ringan selayang pandang hingga telaah yang mendalam. Itu adalah dinamika dunia sastra. Bila sebuah karya ibaratnya sebilah pisau maka kritik adalah batu asahnya. Ini pula yang membuat dunia sastra berkembang dan penuh warna. Sebuah romantisme. Inilah yang dirasa hilang pada hari ini ketika kritik sastra terasa 'melempem'. Mungkin ada kerinduan pada khazanah sastra kita di masa lalu ketika sebuah kritik sastra betul-betul lekat memberi warna pada dinamika perkembangan sastra kita. Barangkali masih lekat dalam ingatan kita hingar-bingarnya dunia sastra kita tentang "Cintaku Jauh di Pulau" dan "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk". Sebuah keriuhan yang -langsung atau tidak- membuka semakin lebar cakrawala dunia sastra. Hal inilah yang kiranya tidak dirasakan lagi pada hari-hari ini. Kekosongan yang diungkapkan dengan: "Sepeninggal H. B. Jassin, kritikus sastra praktis sudah mati". Mungkin. Jika kita menengok Kompasiana, apakah kritik sastra relevan di sana? Ya, dalam porsi yang sesuai. Tidak ada satu standar yang betul-betul baku untuk merujuk satu tulisan untuk layak disebut sebagai karya sastra atau tidak. Semuanya bersifat universal dan subjektif. Benar bahwa terdapat banyak teori mengenai karya sastra namun semua teori itu tidak satupun yang mengikat dan menghakimi. Seperti air laut yang ketika diminum membuat semakin haus, seperti itu pulalah adanya pengetahuan. Kepuasan adalah hal yang mematikan dalam berkarya. Karya yang tidak menerima kritikan adalah sebuah karya yang -meminjam istilah seorang sahabat- "tak terdidik". Ambillah contoh sederhananya tulisan di blog. Entah secara sadar atau tidak, di sana terjadi jual-beli komentar 'positif'. Seorang komentator menuliskan komentar yang 'positif' dengan harapan imbalan komentar yang sama. Ini hanya menghasilkan kepuasan yang semu jika mau diakui dengan jujur. Ketika semua komentar yang masuk adalah positif, lalu bagaimana kita bisa melihat kekurangan kita? Mungkin ada sebagian yang bersyukur jika ada yang memberi komentar yang negatif (yang bersifat konstruktif), hal kecil saja, misalnya menunjukkan ejaan yang tidak baku atau kekeliruan penggunaan tanda baca, namun lebih banyak lagi yang sakit hati. Hal seperti ini yang membuat suatu karya menjadi "tak terdidik". Tentu saja ada kebebasan dalam berkarya namun patut diingat bahwa sebuah karya tidak berhenti pada satu titik. Sebuah karya yang baik adalah yang mampu menjadi bidan untuk kelahiran karya yang lebih baik lagi. Keluarkanlah sebanyak-banyaknya karya dan seraplah sebanyak-banyaknya ilmu. Kritik yang masuk sepahit apapun adalah hal yang berharga untuk perkembangan pengetahuan. Di Kompasiana tidak ada karya sastra. Dan tidak ada sastrawan? Ada. Mereka sedang mengasah dirinya untuk menjadi semakin ulung. Dan jika ada yang menjawab "tidak" maka jangan berkecil hati karena itu adalah sebuah kritik demi sebuah kemajuan. Jangan takut untuk terus menulis dan belajar. Seperti yang sering aku utarakan pada teman-teman semua, bukan tidak mungkin suatu hari akan lahir sastrawan besar dari Kompasiana ini. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun