Mohon tunggu...
Rey Prameshwara
Rey Prameshwara Mohon Tunggu... -

Silent like a misty lake...

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Kaus Kaki

19 Oktober 2013   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:19 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rey Prameshwara No. 66

*

Pagi ini di sekolah seluruh siswa melaksanakan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekolah. Ali, Didi, Reza, dan teman-temannya di kelas tiga mendapat tugas untuk membersihkan mushalla sekolah. Beberapa siswa membersihkan bagian halaman mushalla. Ada juga yang membersihan terasnya.

"Ali, Didi, Reza. Kemarilah!" panggil Pak Jono sang guru matematika, "kalian bertiga bantu bapak membersihkan bagian dalam mushalla ya."

"Iya, Pak", jawab mereka hampir serempak.

Ketiganya segera membuka sepatu mereka lalu masuk ke mushalla. Tapi Ali hanya berdiri diam di depan teras mushalla. Dia berdiri diam seperti patung.

"Ayo, Ali, kita masuk yuk," ajak Didi.

"Cepat kemari, Ali," timpal Reza, "kita sudah ditunggu Pak Jono di dalam."

Ali tidak manjawab. Dia hanya berdiri mematung saja.

"Ayolah!" kata Didi, "Cepat buka sepatumu."

Didi lalu menarik tangan Ali. Ali berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Didi.

"Tidak!" kata Ali sambil menepis tangan Didi.

"Ada apa ini kalian ribut di sini?" tanya Pak Jono yang keluar dari dalam mushalla.

"Ini, Pak, si Ali tidak mau masuk," jawab Didi.

"Iya, Pak, dia tidak mau membuka sepatunya," tambah Reza.

Anak-anak lain yang mendengar keributan itu mulai berkumpul di sekeliling mereka. Anak-anak berkerumun membentuk lingkaran.

"Ali, mengapa kamu tidak mau masuk? Bukankah kamu dan Didi serta Reza Bapak tugaskan untuk membersihkan bagian dalam mushalla?" tanya Pak Jono dengan lembut.

Ali hanya menunduk terdiam.

"Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaan Bapak?" Pak Jono kembali bertanya.

Ali tetap diam dan menunduk.

Anak-anak yang lain mulai ramai berbisik-bisik di antara mereka. Mereka bingung dengan sikap Ali yang seperti itu. Bu Ira juga sudah ada di antara mereka. Bu Ira yang terkenal galak itu menyeruak di antara kerumunan pada siswa. Dia memandangi Ali yang tertunduk.

Bu Ira berkata dengan tegas, "Ali, kamu harus mematuhi perintah gurumu. Sekarang lepaskan sepatumu lalu masuklah membersihkan mushalla."

"Aku tidak mau, Bu," jawab Ali perlahan.

"Kalau kau tidak mau maka Ibu akan memberikan hukuman buatmu," kata Bu Ira.

"Ayo, Ali, kamu tidak boleh melawan apa kata guru!" seorang siswa berteriak.

"Iyaaaa..." timpal yang lain.

Ali tertunduk semakin dalam.

Pak Jono kembali berkata kepada Ali, "Sekarang bukalah sepatumu dan masuklah membersihkan mushalla. Bapak tahu kalau kamu itu anak yang baik."

Ali bimbang sejenak. Perlahan-lahan dia mulai berjongkok lalu membuka ikatan tali sepatunya. Yang kanan kemudian yang kiri. Lalu Ali berhenti. Dia tidak membuka sepatunya. Dia hanya membuka ikatan talinya.

"Ayo cepat!" Bu Ira mulai tidak sabar.

Akhirnya Ali mulai melepaskan sepatunya yang sebelah kanan dengan sangat perlahan. Sebutir air mata menetes di pipinya. Lalu sebutir lagi menyusul dari matanya yang lain.

Akhirnya Ali selesai melepaskan sepasang sepatunya. Pak Jono, Bu Ira, dan semua siswa yang berkerumun di situ terdiam. Ali terisak tertahan.

"Kaus kaki Ali cuma setengah!" tiba-tiba Didi berteriak.

"Hahahahaha.... Ali lucu seperti badut!" teriak seorang siswa lain sambil tertawa lebar.

"Ali pakai kaus kaki buntung," ejek Didi.

"Model baru yaaa..." sahut Reza.

Mereka menjadi ramai. Semua siswa yang berkumpul di situ menertawakan dan mengejek Ali. Pak Jono dan Bu Ira saling berpandangan. Kaus kaki yang dipakai Ali ternyata hanya setengah, dari betis hingga mata kaki. Bagian tumit hingga jari kaki tidak ada sama sekali. Sepasang kaus kakinya terlihat biasa saja ketika Ali memakai sepatu namun ketika sepatunya dilepaskan terlihat jika kaus kakinya buntung.

"Ali, sekarang kamu ikut Bapak ke ruang guru," kata Pak Jono.

Ali yang masih saja menangis mengikuti gurunya itu. Sepasang kaus kakinya telah dilepasnya dan kini menjadi bahan mainan anak-anak yang lain. Didi mengibar-ngibarkan salah satu kaus kaki itu sambil tertawa-tawa. Anak-anak yang lain mengikutinya sambil melempar kian ke mari kaus kaki yang sebelahnya lagi. Suara mereka sangat riuh.

Di ruang guru Ali duduk di kursi. Di depannya duduk Pak Jono dan Bu Ira.

"Ali," kata Bu Ira, "coba kamu ceritakan kenapa kamu memakai kaus kaki seperti itu ke sekolah."

"Tidak apa-apa, Bu," jawab Ali.

"Ceritakanlah, Ali, Bapak dan Bu Ira tidak akan marah kalau kamu mau menceritakannya dengan jujur," bujuk Pak Jono.

"Abah memotongnya..." kata Ali dengan lirih. Wajahnya murung dan sedih.

"Mengapa dipotong?" tanya Bu Ira lembut.

"Jempol dan tumitnya sudah berlubang, Bu..." jawab Ali.

"Mengapa tidak diganti dengan kaus kaki baru?" tanya Pak Jono.

"Kata Abah, tidak apa-apa. Uangnya buat beli buku pelajaran buat Maryam dulu. Itu lebih penting..." jawab Ali.

"Maryam?" tanya Bu Irah.

"Iya, Bu. Dia adikku yang masih kelas satu..." Ali menjawab.

"Bapak tahu. Maryam sekelas dengan Dewi adiknya Didi, kan?" tanya Pak Jono.

"Benar, Pak..." Ali mengiyakan.

"Ya, sudah. Kamu boleh kembali ke kelas," kata Pak Jono.

"Kaus kakinya tidak usah dipakai lagi," tambah Bu Ira.

Ali beranjak keluar dari ruang guru.

Ketika Ali sudah pergi, Bu Ira dan Pak Jono saling berpandangan.

"Ya," kata Bu Ira sebelum Pak Jono sempat bertanya.

Ketika jam sekolah telah usai semua siswa berbondong-bondong keluar dari kelas. Didi dan Reza masih saja mengolok-olok Ali soal kaus kakinya. Teman-teman yang lain ikut menyoraki Ali. Ali hanya diam dan berjalan pulang bergandengan tangan dengan Maryam, adiknya. Didi sendiri langsung masuk ke mobil ayahnya diikuti oleh Dewi, adiknya.

Ketika sampai di rumahnya, Didi makan ditemani Dewi dan ibunya. Sambil tertawa-tawa Didi menceritakan kejadian di sekolah tadi pada ibunya. Ibunya mendengarkan dengan penuh pehatian sedangkan Dewi hanya diam sambil terus makan.

"Mama, aku minta dibelikan kaus kaki baru ya?" pinta Didi, "Aku tidak mau nanti seperti Ali."

"Oh, ya?" balas ibunya sambil tersenyum.

"Iya, kaus kaki bolaku kan sudah tua dan nanti sore aku mau latihan sepakbola. Aku tidak mau kaus kakiku berlubang apalagi seperti Ali, kaus kakinya tinggal setengah." jawab Didi.

"Ya. Nanti saja hari minggu kita belanja," kata ibunya sambil tetap tersenyum.

Setelah selesai makan Didi bermain playstation  sebentar. Setelah itu dia berangkat latihan sepakbola.

Sepulang dari latihan sepakbola Didi tidak terlihat ceria seperti biasanya. Dia terlihat murung.

"Ada apa, Di?" tanya ibunya.

"Aku kesal, Ma," jawab Didi, "tadi sehabis latihan aku ditertawakan teman-temanku."

"Oh, ya? Mengapa?" ibunya kembali bertanya sambil tersenyum.

"Tali tasku putus," jawab Didi.

"Itu saja?" ibunya bertanya lagi.

"Mereka juga bilang kalau tasku murahan. Mereka juga menarik-narik tasku yang putus ke sana ke mari. Mereka membuatnya seperti mobil-mobilan. Aku tidak suka mereka mengejek dan menertawakanku!" kata Didi dengan kesal.

"Lantas mengapa kamu harus kesal dan sedih?" Tanya ibunya sambil tersenyum.

"Maksudnya?" tanya Didi keheranan.

"Kamu tidak usah sedih dan kesal, sayang," kata ibunya, "Bukankah tadi pagi di sekolah kamu juga menertawakan Ali? Kalau sekarang kamu ditertawakan seharusnya kamu tidak boleh marah, sayang."

Didi hanya terdiam mendengar perkataan ibunya.

"Oh, iya. Ini ibu belikan kamu dua pasang kaus kaki. Satu buat sekolah dan satu lagi buat latihan sepakbola. Tadi ibu keluar dengan ayah lalu singgah belanja. Dewi juga ibu belikan dua pasang,"  ibunya berkata sambil membongkar belanjaan dibantu Dewi.

Malamnya Didi sibuk di depan playstation-nya. Dia tidak sedang bermain gem tetapi sibuk dengan kaus kaki barunya. Dewi memperhatikannya dari atas sofa.

"Dewi, kamu punya kertas kado?" tanya Didi pada Dewi.

Dewi tidak menjawab. Dewi hanya beranjak ke kamarnya. Sebentar kemudian Dewi kembali dengan selembar kertas kado berwarna kuning.

"Ini," kata Dewi, "dan tolong sekalian kakak bungkuskan ini ya?"

Dewi menyerahkan kertas kado dan sepasang kaus kaki barunya.

"Buat Maryam," katanya lagi lalu kembali naik ke sofa.

"Kamu mau memberikan ini buat Maryam?" tanya Didi dengan sedikit heran.

"Iya. Karena aku tidak pelit seperti kakak," jawab Dewi.

"Terima kasih, dik," kata Didi.

"Itu buat Maryam, bukan buat kakak," sahut Dewi.

Didi hanya bisa tersenyum.

Keesokan harinya di sekolah Reza sudah menunggu Didi di pintu gerbang.

"Didi!" teriaknya.

"Iya. Mengapa pagi sekali kamu datang?" tanya Didi.

"Begini, Di," jawab Reza. Kemudian Reza membisikkan sesuatu pada Didi.

Sejenak kemudian mereka berdiri di depan gerbang. Mereka menunggu teman-teman mereka yang baru datang. Setiap kali teman-teman mereka ada yang datang, Didi dan Reza menyambutnya dan mengatakan sesuatu pada mereka. teman-teman mereka mengangguk-angguk sambil tersenyum. Sepertinya mereka menyetujui sesuatu.

Kebetulan sekali jam pertama adalah pelajaran matematika. Semua siswa telah duduk di bangkunya masing-masing. Berdiri di depan kelas Pak Jono. Tak lama kemudian datang Bu Ira.

"Baiklah, anak-anak," kata Pak Jono, "pelajaran matematika kita tunda dulu sejenak karena ada yang ingin disampaikan teman kalian, Reza. Silahkan, Reza."

"Terima kasih, Pak," sambut Reza seraya berdiri, "Kemarin kami telah melakukan hal yang tidak pantas pada Ali, oleh karena itu sekarang kami semua ingin meminta maaf pada Ali."

Reza kemudian berjalan mendekati bangku tempat Ali duduk.

"Ali," kata Reza, "maafkan kelakuanku kemarin ya?"

Reza mengulurkan tangannya. Ali menyambutnya, menjabat tangan Reza.

"Tidak apa-apa, Reza. Aku tidak marah lagi," kata Ali sambil tersenyum.

Teman-teman sekelas mengikuti Reza. Mereka mengerumuni Ali sambil satu persatu menjabat tangan Ali. Ali menyambutnya dengan tulus. Pak Jono dan Bu Ira juga menghampiri Ali. Bu Ira lalu meletakkan bungkusan putih yang cukup besar di meja Ali.

"Ali, Ibu dan Pak Jono punya hadiah kecil buatmu dan Maryam. Semoga kamu mau menerimanya dengan ikhlas," kata Bu Ira sambil tersenyum.

Didi yang paling akhir menyalami Ali. Didi menyerahkan bungkusan kecil berwarna kuning.

"Ini, Ali," kata Didi, "hadiah kecil untukmu dan Maryam dari aku dan Dewi. Aku, Dewi, Bu Ira, Pak Jono, dan semua yang ada di sini berharap agar kamu sudi menerima hadiah ini. Kami memberikan ini bukan karena kami kasihan padamu melainkan sebagai satu bentuk permintaan maaf kami."

Didi menjabat semakin erat tangan Ali lalu berkata, "Maafkan kami semua, Ali."

SELESAI

-

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun