“Kriiiing…”
Nenek yang sedang termangu di kursi malasnya di teras belakang rumah dekat kebun kecil itu tiba-tiba beranjak berdiri dengan iringan dering telepon rumah yang seakan tidak sabar menunggu untuk di angkat.
“Halo…” Di tengah percakapan, raut wajahnya berubah. Nenek setengah baya itu berbicara dengan nada yang sedikit gemetar, di imbangi dengan tetesan air mata yang membasahi pipinya yang mulai keriput. Ku taksir usianya belum sampai 65 tahun. Setelah itu ia menutup telepon dan terduduk lesu tak bergairah, seakan hidupnya sudah berakhir sampai disitu. Air matanya tak lagi dapat terbendung.
“Ya Allah… kuatkan hamba-Mu yang lemah ini Ya Allah… apa yang harus aku katakan pada Nanang…?” Doa-nya di sela-sela isak tangisnya.
Pagi ini tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Nanang sudah terpaku di depan pintu seakan menunggu sesuatu. Anak malas itu kini sumringah, masih dengan pakaian tidurnya ia mondar mandir sembari tersenyum kecil. Entah apa yang ia bayangkan.
Pantaslah ia sumringah, kemarin ia mendapat kabar dari neneknya bahwa ibunya akan pulang pagi ini. Ya, pagi ini. Ia seakan tak mampu untuk menyembunyikan rasa senangnya. Maklumlah, ibu Nanang adalah seorang TKW yang bekerja di Mesir. Empat tahun sudah ibunya pergi meninggalkannya demi sesuap nasi untuk menghidupi dirinyadan neneknya. Ayah Nanang telah lama meninggal dunia sejak Nanang di dalam kandungan. Selama ini, dia hidup tanpa figure maupun kasih sayang seorang ayah.
Namun, apakah kemalasan itu menjadikan Nanang seorang yang di benci di kampungnya? Ternyata tidak. Kemalasan Nanang hanya berupa kemalasan bocah-bocah umur 8 tahun pada umumnya. Yang sering malas mandi, bangun pagi dan malas jika diminta membantu neneknya membersihkan rumah. Nanang termasuk anak yang disayangi di kampungnya karena sopan santunnya dan keramahannya terhadap orang-orang kampung serta keceriaan dan rupanya yang manis nan lucu.
“Nang, pagi benar kau bangun?” Tanya nenek Nanang seketika membuyarkan lamunannya.
“Eh, Emak..” Begitulah ia memangil neneknya. “Bikin kaget Nanang saja. Ini Mak, Nanang cuman gak sabar aja nungguin ibu. Hmm.. kira-kira ibu tambah cantik nggak ya Mak? Nanang sampai lupa kapan terakhir Nanang bertemu ibu dan bagaimana wajahnya” Senyum kecil tersirat di sudut bibir bocah itu.
“Emak juga tidak tahu Nang.. Sudah, sekarang kamu mandi dan makan dulu. Masa mau ketemu sama ibu tapi masih kecut cucu Emak...” Kata nenek Nanang sambil mengajak Nanang untuk pergi mandi.
Nampaknya sang nenek menyembunyikan sesuatu dari Nanang. Setelah Nanang masuk ke dalam rumah, seketika nenek itu termenung. Mengingat perkataan Nanang tadi. Tanpa ia sadari air matanya berlinang lagi di pipi keriput nenek itu.
“Ya Allah Ya Rabb… mengapa semua ini harus terjadi padaku dan cucuku..? Aku tak sanggup jika harus membayangkan kesedihan cucuku nanti. Betapa hancur hatinya di tengah penantiannya Ya Allah. Aku tak sanggup bila harus mengatakan bahwa ibunya akan pulang dalam keadaan… ahhh… air mataku pun telah habis ketika Aku mendengar kabar itu. Bagaimana dengan Nanang Ya Allah…” Batin Nenek setengah baya itu dengan berhiaskan linangan air mata.
“Assalamu’alaikum Mak?” Salam Gito, pemuda kampung mengagetkan nenek itu.
“Eh… kamu To, Wa’alaikum salaam… ada apa?”
“Ini Mak, semua perlengkapannya sudah di siapkan, sebentar lagi juga bakal nyampek sini Mak, mau di…”
“Eh…ehh…ehhh… ssstttttt. Jangan keras-keras To, nanti kedengaran sama Nanang. Emak ndak tega kalau harus bilang sama dia To, jadi sampai sekarang dia belum mengetahui kabar yang sebenernya. Emak bingung sekarang, gimana nanti kalau Nanang ndak bisa menerima semua ini?” Potong Nenek tua itu menjelaskan duduk permasalahannya pada Gito.
“Waduh Mak… Mak. Kenapa nggak di kasih tahu yang sebenarnya saja? Kalau begini kan Emak sendiri to yang repot? Lha sekarang Nanangnya mana Mak?”
“Nanang lagi mandi To. Habis mau gimana lagi, waktu Emak kasih tahu ibunya akan pulang dia sudah girang. Padahal Emak belum selesai ngomong. Lalu Emak ndak tega kalau harus melanjutkannya.” Tutur Nenek itu sembari menghela napas panjang.
“Mas Gito, ngapain mas disini?” Tanya Nanang yang ternyata sudah selesai mandi.
“Emm… e..e..e ini Nang, Mas lagi ada urusan sama Emak.”
Sayup-sayup terdengar suara toa masjid yang menyampaikan berita duka. “Innalillahi wa inna’illahi roji’un… innalillahi wa inna’illahi roji’un… innalillahi wa inna’illahi roji’un… telah meninggal dunia ibu…” Suara itu tak terdengar jelas sampai rumah Nanang lantaran jarak yang lumayan jauh.
“Siapa Mak tadi yang di siarkan? siapa yang meninggal?” Tanggap Nanang antusias.
“Loh… itu kok mereka mau kearah sini bawa tenda sama krendanya Mak? Memang siapa yang meninggal Mak? Siapa?” Tanya Nanang dengan penuh rasa penasaran.
“Nang, kamu kok masih disini? Katanya tadi habis mandi mau main sama Guntur?” Tanya sang Nenek ketakutan.
“Udah Mak, jawab aja pertanyaan Nanang.”
Di sisi lain rombongan orang-orang kampung yang lain telah berdatangan membawa tenda, krenda dan keperluan lainnya.
“Anu Nang, eemm… ibumu Nang. Ibumu yang meninggal. Maafkan Emak ya Nang, Emak tidak sampai hati mengatakannya padamu. Maafkan Emak ya Nang.” Tutur nenek Nanang terbata-bata mengungkapkan kebenarannya pada Nanang.
“Nggak mungkin Mak, nggak mungkin. Ibu itu masih hidup, ibu mau pulang sekarang. Emak sendiri kan yang bilang sama Nanang kalau ibu mau pulang. Jadi nggak mungkin kalau ibu meninggal Mak… nggak mungkin. Ibuuu….” Tangis haru yang tak terbendung menyeruak dari seorang anak laki-laki berumur 8 tahun itu. Penantiannya akan kedatangan sang ibu benar-benar tak berujung. Duka yang begitu dalam tersirat di wajah polosnya yang haus akan kasih sayang seorang ibu.
Ibunya meninggal dunia karena menjadi salah satu korban penganiayaan pembantu oleh majikannya yang dewasa ini marak diberitakan di televisi.
“Ya Allah, terimalah ibu Nanang disisi-Mu Ya Allah. Amin… Nanang akan terus mendoakan ibu… Nanang akan menjadi anak yang berguna. Nanang akan membuat Ibu bangga. Nanang janji Bu… Nanang janji.” Doa Nanang mengalun seiring langkah para pelayat yang satu per satu mulai meninggalkan makam.
Namun berbeda dengan Nanang. Ia masih ingin berada disamping makam ibunya. Ingin rasanya Ia memeluk Ibunya untuk yang terakhir kali walau takdir berkata lain.
“Ayo Nang, kita pulang. Ibumu sudah tenang disana. Percaya sama Emak. Ibumu orang yang baik. Pasti ia sudah tenang berada di sisi Allah SWT.” Bujuk nenek Nanang untuk pulang. Langkah Nanang perlahan meninggalkan tempat peristirahatan ibunya yang terakhir.
Mungkin, yang ingin Nanang katakan saat itu adalah “Selamat jalan Ibu, semoga engkau tetap tersenyum dalam gelapku dan damai dalam anganku. Aku menyayangimu…” *t.sinuba, undip
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H