Mohon tunggu...
Tarishah Atsariyyah
Tarishah Atsariyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Belajar menulis untuk berbagi wawasan, mengungkap ide, dan merayakan keberagaman pandangan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perempuan dan Kata "Cantik"

5 Januari 2024   12:11 Diperbarui: 7 Januari 2024   21:01 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan dan kata "cantik" merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Kata "Cantik" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan elok: molek (tentang wajah, muka perempuan). Secara umum, "cantik" merujuk pada sesuatu yang menarik secara visual termasuk wajah, rambut, tubuh dan hal-hal yang terlihat dari luar lainnya. Kecantikan perempuan lebih dilihat melalui fisik dibanding dengan kecantikan dari dalam diri, seperti kepribadian, cara berpikir, sikap, cara berbicara dan sebagainya. Padahal kecantikan perempuan yang sesungguhnya tidak hanya dinilai melalui fisik saja (Miranti & Sudiana, 2020). Meski beberapa pihak mengatakan bahwa kecantikan adalah hal yang bersifat relatif bagi setiap individu. Namun, pada kenyataannya banyak pihak yang menciptakan makna "cantik", baik secara sadar maupun tidak. Termasuk melalui media sosial.

Fenomena menarik yang muncul ketika memasuki era digital adalah konstruksi standar kecantikan perempuan yang dipengaruhi oleh media sosial. Era digital yang semakin berkembang seolah menjadi saksi bagaimana media sosial secara signifikan membentuk sebuah pandangan kolektif.  Penting untuk diakui bahwa media sosial memberikan kesempatan yang luar biasa untuk perempuan dalam berbagi cerita, mengekspresikan diri dan menginspirasi orang lain. Sayangnya, seringkali perempuan tidak bisa menghindari fenomena standar kecantikan yang memberikan tekanan untuk memenuhi gambaran "ideal" sehingga memengaruhi persepsi diri dan kepercayaan diri perempuan. 

Contohnya saja, dari kecil perempuan selalu disuapi dengan iklan kecantikan dimana perempuan yang ditampilkan memiliki tubuh yang langsing, berkulit putih, hidung mancung, pipi tirus, rambut lurus berkilau dan sebagainya. Iklan-iklan tersebut menciptakan makna kecantikan yang melekat dalam pikiran masyarakat sehingga menciptakan standar yang sulit dicapai oleh banyak perempuan. Tidak cukup hanya melalui periklanan, kemajuan pesat teknologi dan informasi juga menyebabkan gambaran perempuan "ideal" tersebut semakin tersebar melalui media sosial.

Dalam era digital, media sosial menjadi pembentuk citra kecantikan dan menentukan standar yang sulit dicapai. Influencer menjadi pemeran utama yang membentuk citra kecantikan di media sosial. Dengan jumlah followers yang banyak, influencer memiliki kemampuan untuk menciptakan tren dan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kecantikan melalui konten yang dibagikan.  Representasi dalam media sosial seringnya tidak mencerminkan keberagaman yang ada dalam masyarakat, terutama dalam penampilan fisik. Biasanya model, aktor dan selebriti yang sering muncul dalam media sosial cenderung memiliki ciri-ciri yang terstandarisasi sehingga menciptakan pandangan sempit tentang kecantikan. 

Dalam paradigma modern, kecantikan merupakan sebuah citra yang dihadirkan oleh media dan cenderung menyamaratakan kecantikan dari berbagai aspek berupa bentuk tubuh yang langsing, tinggi semamapai, kulit putih bersih, rambut panjang, mata besar dan hidung mancung (Chervenic, 2015). Seperti dalam dunia modeling, model dengan kulit gelap kurang mendapatkan perhatian atau kesempatan yang sama dengan mereka yang lebih mendekati standar kecantikan tersebut. Akibatnya, menciptakan citra yang terbatas tentang kecantikan yang dianggap dapat diterima oleh masyarakat luas. Hal ini dapat menggiring perempuan lain merasa perlu untuk mengubah penampilan mereka agar mecapai penampilan yang dianggap "cantik" yang ditetapkan oleh media sosial.

Standar kecantikan perempuan yang diciptakan melalui media sosial menyebabkan adanya tekanan pada setiap perempuan untuk memenuhi kriteria tersebut, dan dampaknya dapat secara negatif memengaruhi harga diri dan kesehatan mental perempuan. Sejalan dengan temuan penelitian oleh SM (2023), semakin banyak perempuan yang mengalami kurang percaya diri dan merasa tidak cantik karena merasa tidak memenuhi standar yang ditegakkan. Tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang diidealisasikan oleh media sosial dapat memicu kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain, terutama dengan influencer atau tokoh publik yang dianggap sebagai simbol kecantikan. 

Perempuan mungkin merasa tidak layak atau merasa kurang bernilai jika mereka tidak memenuhi standar kecantikan yang telah ditetapkan oleh media sosial. Proses perbandingan ini, selain merugikan harga diri, juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mental perempuan secara umum. Meningkatnya tingkat stres dan kecemasan dapat menjadi pemicu untuk munculnya masalah psikologis serius lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup perempuan secara keseluruhan.

Standar kecantikan perempuan yang dihasilkan oleh media sosial tidak hanya menjadi parameter untuk penilaian visual, tetapi juga menciptakan lingkungan yang rentan terhadap tindakan cyberbullying. Cyberbullying merupakan perilaku negatif yang dilakukan individu atau kelompok melalui platform digital untuk mengejek, merendahkan, dan mempermalukan orang lain. Perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan citra "ideal" yang digambarkan oleh media sosial sering kali menjadi sasaran komentar merendahkan dan penghinaan. Fenomena ini menciptakan tekanan tambahan pada setiap perempuan untuk mencapai standar kecantikan yang seringkali tidak realistis dan tidak mencerminkan keragaman penampilan. Akibatnya, banyak perempuan merasa terancam dan takut menjadi korban cyberbullying jika mereka tidak memenuhi standar kecantikan tersebut.

Untuk itu, penting untuk menyadari dampak media sosial terhadap konstruksi standar kecantikan dan menyuarakan keberagaman dalam pandangan kolektif terhadap kecantikan perempuan. Merayakan keberagaman dalam representasi media sosial dapat menjadi langkah positif untuk mengatasi dampak yang mungkin timbul akibat tekanan standar kecantikan yang ada. Dengan melibatkan dan memperlihatkan berbagai jenis kecantikan membuat perempuan merasakan bahwa mereka diakui dan mengurangi tekanan untuk memenuhi standar yang sempit dan tidak realistis. Perempuan akan merayakan keindahan mereka sendiri tanpa perlu mengubah penampilan agar sesuai dengan standar kecantikan yang diperkenalkan oleh media sosial sehingga memberikan kesan positif bahwa setiap perempuan memiliki nilai dan kecantikan yang unik dan membantu menggeser persepsi masyarakat tentang kecantikan yang lebih inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun