Pendidikan adalah pilar utama bagi perkembangan intelektual dan budaya masyarakat. Sayangnya, dalam perjalanan ini, beberapa oknum guru terperangkap dalam paradigma pendekatan tekstualis yang pada akhirnya merugikan kualitas pembelajaran. Kesetiaan berlebihan pada buku pelajaran, tanpa memberikan ruang untuk kreativitas dan pemikiran kritis, menciptakan lingkungan pembelajaran yang statis dan kurang merangsang.
Guru-guru ini cenderung mengabaikan potensi unik setiap siswa dan lebih suka mengukur keberhasilan mereka dengan sejauh mana siswa dapat mengulang dengan tepat apa yang ada di buku. Hasilnya, kita melihat kemunculan generasi "penghafal" yang, meskipun mampu menguasai informasi secara faktual, seringkali kekurangan pemahaman mendalam dan kemampuan untuk mensintesis informasi.
Penting untuk diingat bahwa kecerdasan bukanlah sekadar tentang kemampuan menghafal, tetapi juga tentang kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menghubungkan informasi. Pendekatan yang terlalu memihak pada penghafalan bisa menjadi hambatan serius untuk perkembangan pemikiran kritis.
Pandangan sempit ini juga merendahkan ide kecerdasan yang lebih holistik. Keterbatasan dalam memahami dan mensintesis informasi tidak hanya menciptakan jurang intelektual di kalangan siswa, tetapi juga menghambat kemajuan masyarakat menuju pemikiran yang lebih maju dan kritis.
Guru yang terjebak dalam pendekatan ini perlu menyadari bahwa pembelajaran seharusnya tidak hanya tentang mengikuti teks secara mekanis. Diperlukan langkah-langkah inovatif dan kreatif dalam pendidikan untuk merangsang minat dan pemahaman siswa.
Penting untuk diakui bahwa kritik ini bukan bermaksud untuk merendahkan oknum guru atau kelompok tertentu. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk merefleksikan kembali metode pengajaran dan memperbarui kurikulum agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Sebagai masyarakat, kita harus mendukung upaya untuk membebaskan diri dari belenggu penghafalan buta dan beralih ke pendidikan yang lebih dinamis dan relevan. Mendorong dialog terbuka dan konstruktif adalah kunci untuk mengatasi masalah ini.
Akhirnya, harapan kita adalah agar tulisan ini menjadi pijakan untuk perubahan positif. Kami berharap oknum guru dapat meresapi kritik ini dengan sungguh-sungguh, mengakui potensi perbaikan, dan berkomitmen untuk memberikan pendidikan yang lebih holistik, dinamis, dan sesuai dengan tuntutan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H