Di ruangan itu, sekali lagi, terasa muram dan dingin. Begitu dingin hingga-hingga seketika bulu kuduk ku berdiri dengan sendirinya. Tanpa komando, tanpa koordinasi.
"Ya, ibu, dipersilakan mengenalkan diri terlebih dahulu," ucap pria berusia paruhbaya itu
"Nama saya Anggraini Prabaningtyas, umur 35 tahun, seorang penyidik," ucapku dengan bangga
Ya, aku sangat bangga menjadi penyidik di komisi yang beritikad baik ini. Bahkan, aku semakin bangga belakangan ketika komisi ini sudah dipandang menakutkan. Tapi, kurang lebih dua tahun silam, sebuah revisi atas undang-undang yang berkaitan dengan komisi ini disahkan. Hal itu menuai banyak protes. Demonstrasi tergelar dimana-mana. Mahasiswa, para aktivis, bahkan masyarakat umum ikut menyuarakan protes mereka. Namun, apadaya, nyatanya regulasi tetap ditekan.
Si pewawancara pun mengeluarkan pertanyaan pertama, "Ibu kan pakai jilbab, kalau disuruh lepas, mau tidak?"
Loh, apa-apaan ini?
Mataku kembali menyipit dengan sendirinya, "Tidak, pak. Ini adalah kewajiban dari agama saya," ucapku tanpa ragu
"Oh, begitu? Berarti ibu egois ya? Lebih mementingkan pribadi daripada negara,"
Aku bisa mengutarakan semua protes yang ada dalam benakku, tapi aku tampaknya tidak lagi memiliki tenaga. Aku sekarang mulai dapat mengartikan ekspresi rekan-rekanku tadi.
"Ibu sudah menikah atau belum?"
"Belum, pak,"