TEORINYA, kebajikan atau hikmah itu adalah akumulasi dari sekian banyak bentuk pencampaian kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tercermin dari perkataan, sikap, dan perbuatan di satu masa dan ruang. Bingung toh! Ya, itu karena masih rumusan, dalil filsafat, alias teori.
Dan ada banyak cara menggambarkan dalil hikmah. Filusuf Pythagoras (+580-500 B.C, sebelum masehi), mengajarkan keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi dengan mencetuskan dalil segitiga sama siku atau teori Pythagoras.
Rumusan dalil Pythagoras itu adalah "jumlah kuadrat sisi-sisi yang membentuk siku-siku sama dengan kuadrat sisi miringnya."
Kini dalil itu terus dirasakan manfaatnya oleh mereka dalam menerapkan ilmu rancang bangunan dan asritektur. Singkat kata, dia dan apa saja yang bersentuhan dengan pelbagai ilmu berbasis garis dan ruang, akan kualat kalau tak mempelajari dan memahami terlebih dulu teori ini.
Dengan teori itulah rohaniawan sekaligus ilmuwan yang besar di Kroton, Italia selatan, inilah Pythagoras dicatat sejarah ilmu pengetahuan dan mendunia. Dalil ini juga bahkan dibawa ke akhirat oleh orang-orang yang mengabdikannya.
Laiknya kebanyakan ilmuwan terdahulu, --setidaknya hingga masa sebelum runtuhnya imperium(pusat kerajaan dan peradaban) Islam dan emporium (pusat perdagangan) Cordova--, Pythagoras membangun teorinya dengan interaksi yang kuat dengan alam dan perilaku manusia.
Seperti dalil Anaximandrostentangto apeiron (sesuatu yang tak terbatas), dalil Pythagoras, dirumuskan melalui eksperimen dan "permenungan" panjang tentang hidup, kehidupan dan tujuannya. Teorinya menjadi hidup karena kelekatannya dengan kehidupan manusia. Ia hidup di era kejayaan kebudayaan Yunani. Masa di mana mythos (dongeng) dan logos (akal) adalah ukuran beradab atau tidaknya seseorang.
Andai pria kelahiran Samos, sebuah pulau kecil di gugusan kepulauan Ioni, Italia, itu dibesarkan 592 tahun kemudian, cerita akan lain. Saat itu Islam telah diwahyukan Tuhan ke Muhammad (570-632 masehi) maka tak menutup kemungkinan dalil itu oleh Pythagoras akan diklaim pengikutnya sebagai sebuah bentuk ajaran theology praksis untuk "bertemu" dengan Allah. Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha segala maha.
Namun itu hanya sebuah perandaian. Yang jelas, dalil Phytagoras itu telah menjadi sumbangan penting dalam membangun peradaban dunia. Teori itu berkembang dan bermanfaat dengan melewati batas-batas ideologi, strata sosial, administrasi pemerintahan, manajemen organisasi, apalagi (hanya) fatsun-fatsun politik partai.
Sosok Pythagoras sebagai filusuf lalu mensejarah dan dalilnya tak lekang dilahap waktu.
Pertanyaanya, kenapa teori Pythagoras itu belum terbantahkan hingga sekarang? Bagaimana hingga teori itu terus bekerja dan sudah beranak pinang hingga melahirkan ilmu dan aplikasi berbasis geometri.
Jawabannya mungkin amat "klise". Ya, barangkali klise karena dalil ini sudah terlalu kerap dikhutbahkan oleh para da'i, pastur, pendeta, dan bhiksu. Rumusan ini sudah sering dinasihatkan dan diabadikan para moralis dalam tulisan.
Para politisi pun tak mau ketinggalan mem-tauziahkan-nya dalam orasi dan pidatonya di parlemen di panggung kampanye. Mungkin ‘keseringan” inilah yang menjelaskan kenapa sehingga tinggallah dalil Phytagoras itu hanya tetap dalam buk matematika dasar dan agung sebagai teori belaka. Tetap menjadi rumusan kata tanpa pelaksanaan. Pokoknya…..
Oh, hampir lupa, kenapa hingga dalil segitiga sama siku tak lekang oleh waktu? Jawabannya ialah karena dalil segitiga sama siku sepenuhnya dirumuskan dengan honest, kejujuran. Dalil itu dikerjakan tanpa basa-basi, tanpa pamrih.
Agama saya, Islam, mengajarkan jika sosok seperti Pythagoras itu mungkin seorang "mukhlisin". Dia termasuk dari sekian ilmuan dan yang ihklas, seperti Avicenna atau Al Ghazali. Ilmunya didedikasikan untuk keseimbangan hidup di Dunia Bawah dan Dunia Atas.
Ilmunya dipakai dalam interaksi sosial dan biologis. Diabdikan untuk sesuatu yang benar, baik, dan indah. Dalil itu jadi rujukan spritualitas dan keseimbangan hidupnya dan manusia sekitarnya.
Bukan diabdikan untuk apa atau siapa-siapa tapi untuk segitiga sama siku.
Ah..., teori lagi. ^
(thamzil_thahir@yahoo.com.au)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H