Mohon tunggu...
thamzilthahir tualle
thamzilthahir tualle Mohon Tunggu... journalist -

lahir di makassar. selalu mencoba menulis apa adanya bukan ada apanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pak Kiblat dan Super Mal di Lorong 300 Mariso

9 Mei 2010   16:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

* Refleksi Negeri Seribu Pengertian (1)


"IYA ya, siapa pembeli siapa penjual"..begitu komentar Kiblat Said (48), menanggapi ceritaku soal banyaknya kios kebutuhan sehari-hari di gang menuju rumahnya di Kampung Mariso, Makassar, Sabtu (08/05/2010) menjelang tengah malam.

Ruas jalan di kampung Mariso unik. Dari arah timur, akses dari Jl Nuri, lebar jalan ini hanya bisa diakses satu mobil minivan dan satu motor Vespa skuter.
Namun di sekitar 200 meter sebelum ujungnya di barat satu minivan dan angkot bisa berpapasan. Tapi kaca spion salah satu mobil harus ditekuk lebih dulu.
Meski seperti gang, warga Makassar lebih mengenalnya dengan Nuri Lorong 300 ini. Mungkin biar terdengar beken.
Sepanjang jalan yang kira-kira 500 meter, aku menghitung jumlah kedai atau kios yang hingga pukul 20.15 wita, lampu kedainya masih menyala. Pertanda ada tuan rumah sekaligus pelayan bagi para pembeli.
Laju motorku yang lambat membuatku bisa menghitung jumlah kedai di kanan kiri jalan. Hingga ke depan rumah Pak Kiblat kuhitung ada 25 kios.
Dalam hitungan kasarku, rumah yang berhimpit rapat di kedua bahu jalan itu sekitar 100-an. Artinya hanya berkisar 75-an rumah yang tak berfungsi ganda jadi kios.
Untuk diketahui saya tak sempat menghitung kedai makanan siap saji. Warung bakso, nasi kuning, kue dan roti, atau gerai penjual pulsa telepon selular, tak menggugah rasa ingin tahuku.
Seperti karakter kios di gang-gang di Indonesia, bangunan kios nyaris semua memanfaatkan teras sebagai ruang memajang jualan.
Bahkan ada juga ruang pamer barang dan transaksi itu sekaligus jadi akses utama masuk ke ruang keluarga.
Isi jualan kios itu juga seragam. rokok, permen, kue ringan, snack untuk bocah, aneka mie instant, kebutuhan mandi cuci dan kakus. Aneka bahan minuman dalam sachcet biasanya dipajang atau digantung di bagian depan. Mungkin biar kelihatan jualannya ramai.
Warung itu sudah menahun. Saat tanteku masih tinggal di ujung timur jalan ini, sekitar tahun 1992, sebagian besar warung yang kulihat sudah ada. Bahkan kulihat malah bertambah.
Pak Kiblat membenarkan. "Ya dari dulu sudah ada! katanya mengomentari keberadaan kios-kios yang dalam bahasa ekonomi pasar versi pemerintah dikategorikan usaha informal.
Disebut informal karena untuk mendirikan kios rumahan itu tak butuh administrasi izin yang panjang nan berbelit."Ada modal sedikit yah buka," kata salah seorang pemilik warung tempat aku membeli kretek sepulang dari rumah Pak Kiblat.
Tak ada mekanisme persaingan dagang yang mengatur pola usaha atau jenis jualan mereka. Inilah yang mengkonfirmasikan kenapa jualan mereka seragam. Ini yang menjelaskan kenapa letak kios mereka tak beraturan atau (misalnya) disebar sesuai rasio kepadatan rumah.
Letak kios-kios itu berdekatan bahkan ada yang hanya dipisahkan dinding triplek. Kebanyakan kios itu bahkan berhadap-hadapan.
Di sebuah perempatan lorong sempit aku melihat ada lima warung yang radius jaraknya sepelemparan batu anak usia balita. Amat lekat dan dekat.
Soal posisi kios mereka, tak berlebihan jika beberapa ruas jalan Nuri II aku umpamakan dengan jejeran gerai di mal-mal besar. Bedanya, kalau di mal mereka berhimpitan, berdekatan tapi produk atau item jualan mereka "berjauhan".
Tapi di "super mal" jalan Nuri II, teori diversifikasi atau keaneka-ragaman item jualan tak berlaku.
Warung Bundu-bundu
Di gang itu jam buka dan tutup warung betul-betul diserahkan kepada mekanisme pasar atau pembeli.Jika di mal jam bukanya "ten to ten" atau 10.00 hinggal 22.00 wita, maka di super mal Kampung Lette, jam buka sesuai kebutuhan pembeli dan pengertian pemilik kios.
Soal hubungan dagang dengan pola saling pengertian ini ada banyak cerita yang bisa dikonfirmasikan di warga kawasan itu.
Konfirmasi itu sudah bukan hukum atau logika dagang, "Ada uang ada barang".
Pola itulah mungkin disebut dengan etika dagang; tak ada uang barang bisa ada. Berikut ini contohnya;
Meski warung sudah tutup jam 03.00 wita dinihari, tapi karena pembeli kehabisan rokok, dia bisa mengetuk pintu kios dan memanggil nama penjual atau sapaan salah satu anggota keluarga di rumah itu.
Jika si pembeli tak dapat sahutan di kios A misalnya, dia bisa berlalih ke kios B. Demikian seterusnya. Si pembeli akan membayar jika ada respon.

Di Lorong 2oo, uang bukan alat pembayaran tunggal. Bahkan pembeli lebih banyak "membayar dengan ucapan. "Utang dulu" atau catat dulu. Besok baru saya bayar ki dii".

Dengan pola dagang seperti ini, memang jadi potensi konflik.
Makanya sejak tahun 1970-an, warga sekitar menyebut puluhan kios itu dengan Warung Bundu'-bundu'.
Dinamai bundu- bundu, --berarti perang-perangan--, sebab transaksi antara pembeli dan pedagang, banyak menyisakan ketegangan.
"Kalau malamnya, pembeli lagi mabuk, dan bangunkan minta rokok, lalu kalau besoknya saat sudah ditagih dan tak teler lagi si pembeli marah, dan merasa tak pernah membeli. Makanya selalu bundu'- bundu dulu baru dibayar," kata Pak Kiblat.
Herannya Pak Kiblat, meski selalu bersitengang dan berperang, tapi baik si pemilik warung dan pembeli, tetap bertransaksi di lain waktu. Ini yang khas di kampung Mariso.

Persaingan pedagang bukan besarnya ruang jualan atau banyaknya barang dagangan melainkan bagaimana merebut hati, memahami keinginan pembeli yang sekaligus tetangga. "Ini seperti pola dagangnya orang China." kata pak Kiblat.Pola dagang dimaksud adalah persaingan tak nyata.


Di gang itu, pola dagang dan usaha menyatu dengan keseharian. Transaksi tak kenal struk belanja, receive, nota pembelian.
PPn di kawasan itu hanya dikenal sebagai istilah pajak bukan aturan negara yang wajib dipatuhi warga negara di setiap transaksim
++++
Fenomena ini merata di kota-kota urban Makassar. Di negeri inilah, uang tak selalu setara dengan harga jual barang.
Di Super Mal Kampung Mariso-lah, dan di gang-gang padat warga di lain wilayah negeri ini, nilai uang bisa berubah sesuai kondisi bathin si pemberi.
"Hidup di Indonesia memang kebanyakan tak butuh keteraturan atau logika linear. Kita hanya butuh deposito pengertian yang banyak."

Siapa Pak Kiblat? Dia kolegaku. Dia satu dari sekian jurnalis senior di Makassar yang saban hari terus mengejar fakta dan mengujinya. "Saya masih sempat dapat bikin koran itu dengan susunan timah terbalik," ujarnya menggambarkan 25 tahun lebih hidupnya di dunia jurnalistik.
Saat kutemui di rumahnya malam itu dia menceritakan sudah melalui 6 fase teknologi pengiriman berita. Malam itu, dia bekerja dengan laptop dengan modem mobile.
Di kampung Mariso, dia termasuk penduduk lama. Sekitar dekade 1960-an bapaknya yang perwira polisi membeli tanah di kampung pesisir sebelah selatan pantai Losari.
Kini dia menyiapkan rencana kuliah putra tertuanya. "Dia lahir dan besar disini tapi gaulnya di luar," kata Pak Kiblat menggambarkan kondisi sosial di kampung yang oleh pemkot selalu dijadikan contoh proyek kelurahan prasejahtera kota.
Di Makassar ada 114 kelurahan yang tersebar di 14 kecamatan. Sekitar 15 masuk kategori prasejahtera.
Sebagian besar warganya adalah pencari tude, atau kerang muara khas Makassar.
Tude dan tiram inilah yang membuat Pepih Nugraha, salah seorang founder Kompasiana, selama hampir dua tahun, selalu ingin bermalam minggu di Kampung pinggiran ini.
"Angin di kampung Mariso, selalu bertiup membawa kembali lagu-lagu Makassar yang dinyanyikan di lantai atas rumah Pak Kiblat." Dan meski tinggal di wilayah prasejahtera, tapi Pak Kiblat selalu mengaku sejahtera.
Hidup baginya adalah kemampuan olah batin, mempelajari dan mengerti hidup orang lain.
Bagi Pak Kiblat, hidup itu pergulatan batin, kontrol emosi, sekaligus perang melawan keinginan diri sendiri.
Mungkin inilah yang menjelaskan kenapa Pak Kiblat mengulang dua kali sebuah filosofi hidup pelaut Bugis Makassar, sebelum kami berpisah pukul 23.15 wita, "saya ini pegang pepatah perangnya orang bugis, kalau susah dan sakit, diupayakan orang banyak jangan tahu.
"Entah itu simbolik atau pragmatis, yang kutahu dari dia, pekan lalu, dia tidur rumah sakit bukan di kampung mariso. Dia menjalani operasi orthopedi guna mengeluarkan sejengkal platina yang dibenamkan dokter Ahli bedah ortopedi Prod Dr dr Idrus Paturusi Sp.BO di pangkal pahanya, empat tahun silam.
Kala itu, Pak Kiblat yang bekerja untuk harian Suara Pembaruan, mengalami kecelakaan hebat sebelum meliput bencana banjir dan tanah longsor di Sinjai, Sulsel, tahun 2006 lalu di sebelah Barat Bone.
Dia terkena musibah dengan wartawati Kompas, Diaz saat menunaikan tugas jurnalistik.
"Datang ji kodong Kang Pepih menjenguk saya di rumah sakit," katanya merujuk persahabatnnya dengan wartawan senior kompas lainnya, Pepih Nugraha. (69)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun