Kasihan juga Presidenku. Berkali kali di bully bersebab dokumentasi foto blusukan beliau. Ada saja para pihak yang patut diduga memplesetkan dokumentasi foto itu entah untuk kepentingan apa hanya mereka saja yang tahu. Namun yang jelas muncul dua versi foto pak Presiden ketika bertatap muka dengan Suku Anak Dalam (SAD) di Propinsi Jambi. Tak pelak dokumnetasi foto tersebut membuat pihak istana gerah. Dua buah foto yang sama hanya foto mana yang terlebih dahulu di jepret itulah yang jadi sasaran tembak bully membully. Tentu saja peristiwa Pak Jokowi dan SAD menggegerkan khasanah media sosial nasional.
Pertanyaan publik tentu mengarah kepada juru foto resmi kepresidenan.  Seharusnya mereka melindungi boss numbero one itu melalui profesionalisme jurnalis yang mereka sandang. Jadi singkatnya, bagian humas kepresidenan sering sering atau wajib mengeluarkan foto resmi Pak Jokowi terkait dengan kegiatan beliau terutama ketika bertatap muka dengan rakyat. Dokumentasi produksi istana pasti memiliki ciri khas melalui logo tertentu yang tidak bisa di jiplak oleh pihak manapun.
Awak jadi tertarik atas usulan kompasianer senior Abang Syaiful Harahap. Beliau menyarankan begini : Alangkah baiknya pihak istana menyertakan jurnalis independent seperti kompasianer misalnya pada setiap kunjungan. Memang sih ada wartawan dari surat kabar ternama dan televisi nasional yang meliput Pak Presiden. Bang SH dan kita semua  menjamin jurnalis citizen (JC) almamater kompasiana pasti bisa dipercaya. Sikap independent kompasianer dapat dipertanggung jawaban bebas dari kepentingan politik atau kepentingan lainnya yang menyangkut hajad hidup orang banyak.
Jadi tugas CJ Kompasianer tidak lain tidak bukan sebagai penyeimbang dalam memproduksi reportase Pak Jokowi . Peran CJ ini secara langsung akan memproteksi Presiden dari para pihak yang bermaksud me rekayasa foto blusukan Presiden. Semoga usulan Bang SH mendapat tanggapan dari Bapak Teten Masduki selaku Juru Bicara Resmi Istana. Sementara itu Admin kompasiana tentu saja perlu bersiap siap mengeluarkan surat tugas kepada kompasianer yang ditugaskan pada setiap kesempatan kunjungan Presiden di dalam negeri maupun keluar negeri.
Sementara itu biarlah Kapolri mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait tata cara bermedsos yang santun dan sopan. Surat Edaran itu memang masih dalam koridor tugas pokok dan fungsi Polri dalam menjaga ketertiban masyarakat. Peringatan Kapolri mari kita lihat dari sisi prevensi dengan niat murni semata ingin menjaga marwah Bangsa Indonesia yang bermartabat. SE dimaksudkan untuk mencegah diri masing masing warga di dunia maya agar tidak mengeluarkan kata kata tidak senonoh dan melontarkan nama penghuni kebun binatang kepada sesiapa yang dianggap sasaran bully.
Kalaupun ada pendapat sebagian warga yang merasa terganggu dengan keluarnya Surat Edaran tersebut , dianggap wajar saja di era demokrasi reformasi. Inilah salah satu bentuk reaksi positif warga agar Polri benar benar Profesional menjalankan tugasnya terkait huru hara di media sosial. Artinya Polri tidak bisa sembarangan mem pidana kan warga tanpa ada alat bukti yang syah dan terpercaya. Boleh jadi SE Kapolri dikeluarkan bukan khusus untuk melindungi kemuliaan seorang Presiden tetapi juga untuk mengembalikan fungsi awal sosial media. Tentu sobat masih ingat bahwa sosial media berfungsi untuk menghubungkan nan terserak dalam rangka menyambung tali silaturahim serta berbagi informasi yang bermanfaat bagi sesama.
Point yang ingin awak sampaikan disini terkait dua hal yang sering terjadi di media sosial adalah agar semua pihak bisa lebih mengendalikan diri. Ibarat kita melempar bola kedinding, semakin keras bola itu dihempaskan makin semakin keras pula bola itu menerpa kembali si pelempar.  Jadi mari kita contoh motto kompasiana yang sejak 7 tahun lalu telah meng proklamasi kan sopan santun ber sosial media melalui jargon Sharing and Connecting.
Ilustrasi Foto : jambitribunenews
Salam Salaman
TD
Â