Sumpah Pemuda Ternoda
Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2014 dinodai oleh ulah preman oknum Anggota Dewan Terhormat dengan cara membanting 2 buah meja di ruang sidang DPR. Partai yang menggunakan Lambang Ka’bah sebagai simbol kehormatan Umat Islam telah dirusak oleh nafsu tahta. Tadinya kita mengira setelah Presiden Jokowi mengumumkan Susunan Kabinet dimana PPP mendapat satu jatah kursi yaitu Menteri Agama, konflik internal akan usai dengan sendirinya. Tetapi apa yang terjadi, ternyata perebutan kursi pimpinan PPP belum berakhir. Sungguh memalukan sikap oknum DPR RI, menghancurkan karier politiknya, karena rakyat tidak akan melupakan kebodohan inteletual yang ditonton oleh pemirsa seluruh duina. Tayangan peristiwa ini akan terus diulang ulang oleh media televisi sebagai hukuman sosial kepada oknum anggota DPR RI tersebut.
Seharusnya di lakukan hukuman adminstratif kepada oknum anggota dewan DPR tersebut. Bentuk hukuman dilakukan dalam proses Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan terhadap setelah mendapat pertimbangan dari Dewan Kehormatan DPR.  Inilah puncak kegalauan konflik internal PPP setelah secara mengejutkan hengkang dari Koalisi Merah Putih. Disaat injury time PPP berpindah arah ke Koalisi Indonesia Hebat. Sebagai hadiah bergabung, mereka mendapatkan satu jatah Wakil Ketua DPR dalam paket yang diajukan. Oknum yang membalikkan meja tersebut ternyata adalah sosok calon Wakil Ketua DPR yang gagal mendapatkan jabatan terhormat itu.
Nasi telah menjadi bubur. Peristiwa memalukan ini akan dikenang sepanjang masa dan terrekam abadi di memory seluruh rakyat Indonesia karena terjadi pada peringatan hari Sumpah Pemuda. Entah bagaimana komentar para pemuda generasi muda menyaksikan tingkah polah oknum anggota DPR. Seharusnya mereka memberikan tauladan yang baik  dalam melaksanakan sidang seperti yang diamanatkan pada sila ke - 4 Pancasila : Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Benarlah kata Mahatma Ghandi yang menyebutkan terdapat 7 penyakit masyarakat. Salah satu penyakit itu adalah Politik Tanpa Prinsip yang tidak berpedoman kepada moral. Seharusnya setiap warga masuk ke dunia politik bukan untuk mengejar harta, tahta, kuota apalagi wanita, berpolitik hendaknya dengan niat semata untuk kemaslahatan masyarakat (public interest). Sekali lagi, satu kata saja MEMALUKAN seluruh bangsa Indonesia. Kisah ini akan menjadi sejarah kelam DPR yang akan tercatat di lembaran hitam perpolitikan Indonesia bahkan Parlemen Dunia.
Melawan Lupa Pancasila
Pertama Ideologi Pancasila tidak ada duanya di dunia. Kedua, akar budaya bangsa Indonesia ratusan tahun yang lalu telah ada dalam perikehidupan nusantara, seperti disampaikan oleh Mahapatih Gajahmada dalam sumpah palapa. Pancasila mempersatukan bangsa ini yang terdiri dari ratusan suku, 5 agama dan ratusan bahasa daerah.  Keberagaman bangsa ini tidak menjadi masalah krusial sebagai sumber perpecahan atau perselisihan antar budaya dan suku dengan kehadiran Pancasila sebagai perekat bangsa.
Toleransi beragama sebagaimamna diatur dalam butir butir pancasila, mampu memberikan rasa nyaman dan aman umat beragama dalam menjalankan ibadahnya masing masing dan saling menghormati. Walaupun terjadi sedikit pertentangan, namun dapat didamaikan dengan Kesaktian Pancasila. Bangsa ini semakin dewasa akan pentingnya persatuan yang di bungkus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sejak reformasi 1998 sampai saat ini, pengamalan dan penghayatan nilai nilai pancasila sudah mulai berkurang, bahkan Pemerintah sebagai otoritas ideologi negara tidak mempunyai program khusus dalam melestarikan Pancasila. Seharusnya pemerintah menanamkan jiwa Pancasila sejak dini kepada anak anak penerus generasi bangsa, sebagai upaya ketahanan nasional guna mempertahankan NKRI.
Gaung Pancasila hanya sejenak terdengar di bulan Juni dan sebentar pula di bulan September, itupun hanya berupa peringatan seremonial yang tak bermakna dalam pada jiwa Bangsa Indonesia. Kedigjayaan bangsa ini sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh paham liberalisasi dan sekuralisme, bahkan para pemimpin hanya memikirkan dirinya sendiri atau partainya guna mempertahankan eksistensi kekuasaan. Etika bermusyawarah untuk mufakat sudah jarang dikumandangkan, semua melalui voting yang di rekayasa oleh tekanan dan uang. Hasil suatu kebijakan tidak lagi bertopang kepada kepentingan rakyat banyak, tetapi terlebih hanya untuk kepentingan sekelompok penguasa dan pengusaha. Pancasila sudah dilupakan sebagai pedoman bernegara, berbangsa, sehingga menyuburkan ideologi ideologi  di negeri ini