Ilustrasi : TV One Kabar Pagi https://www.youtube.com/watch?v=4ok4DKZhhe0
Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli meminta para pengusaha yang masuk ke pemerintahan meninggalkan aktivitas usahanya. "Jangan lagi ada 'pengpeng', penguasa merangkap pengusaha," kata Rizal di kantornya, Jakarta, Senin, 28 Desember 2015.
Munculnya istilah baru pengpeng yang launching Menko Rizal Ramli (RR) sampai juga di komunitas gelandangan dan pengangguran (gepeng). Komuntas yang katanya hampir berjumlah hampir 20 juta itu bekerja serabutan. Apa saja dikerjakan kecuali kriminal dan narkoba Soalnya kalau mereka kriminal maka mereka berubah atau pindah tempat ke bui,, setelah keluar bergabung ke komunitas begal. Walaupun berprofesi gepeng, komunitas ini tetap cinta tanah air, ikut menjaga ketertiban dan keamanan sesuai dengan kemampuan dan kesempatan ketika perut agak kenyang.
Pengusaha merangkap penguasa atau sebaliknya penguasa merangkap pengusaha sebenarnya memiliki beda yang sangat jelas. Rizal Ramli sebenarnya lebih merisaukan yang pertama yaitu penguasa merangkap pengusaha. Sedangkan posisi rangkap pengusaha merangkap penguasa tidak terlalu dipikirkan karena pengusaha itu hanyalah bayangan penguasa. Bingung bukan, baik awak segera uraikan secara rinci sesuai dengn nalar dan pemahaman versi gepeng.
Penguasa merangkap pengusaha sebenarnya tak elok juga masih dilakoni di orde reformasi. Sejak dicanangkan reformasi di segala bidang pada tahun 1998 ketika Pak Harto bersedia lengser maka istilah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi semakin populer. Itulah penyakit menahun (kronis) yang didawamkan oknum pejabat di era Orde Baru. Tiga tabiat KKN itu sangat karib berkerabat, semuanya menjadi satu paket dalam artian korupsi bisa mulus dilakukan ketika ada nuansa kekerabatan (nepotisme) akibat dari kekuasaan yang lebih bernuansa kolusi.
Penguasa yang tadinya pengusaha seharusnya menanggalkan semua jiwa dagang ketika di sumpah pada hari pertama memegang amanah jabatan. Ini kalau beliau memang memiliki jiwa patriot sejati ingin mengabdikan diri sepenuh hati untuk Indonesia Raya. Namun apabila sang oknum Penguasa lupa atau sengaja atau berniat dengan kekuasaannya itu akan lebih banyak mengambil keuntungan bagi dagangannya (corporate) maka bolehkah beliau disebut sebagai (*****). Peluang menyuburkan dagangan sangat besar sekali bersebab kebijakan ada di tangan beliau. Soal tender hanyalah permainan di meja, semua bisa dikendalikan dan di rekayasa untuk keuntungan perusahanaan keluarga.
Nah kini penjelasan tentang pengusaha merangkap penguasa. Sebenarnya tragedi birokrasi di negeri ini terkait ikut sertanya pengusaha dalam menentukan kebijakan bukan rahasia umum lagi. Kekuatan sang pengusaha level konglomerat hitam sangat luar biasa. Kekuatan atau pengaruh ini dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama konglomerat ini "memelihara" oknum pejabat dalam artian dia yang menggoalkan (mensponsori) dengan segala intrik agar sang penguasa itu bisa duduk di jabatan strategis terutama di bidang ekonomi. Nah setelah peliharaannya ini duduk manis di jabatan empuk itu, mulailah istilah de jure dan defacto berlaku disini.
Agar tidak jlimet, baik diterangkan disini bahwa si oknum penguasa itu adalah pejabat de jure, sedang pengusaha tersebut bertindak menentukan segala kebijakan pemerintah dalam posisi pejabat de facto sebagai tagihan hutang telah meloloskan sang pejabat.. Pengusaha mengendalikan semua kebijakanuntuk kepentinga corporate. Sementara oknum penguasa hanya menjadi boneka. Sang boneka di hadiahi kenikmatan fasilitas duniawi semewah mewahnya mumpung masih menjabat.
Cara kedua konglomerat sekali dengan kekuatan kekayaan luar biasa bisa mengendalikan pengusaha. Siapapun penguasa yang tidak sejalan dan seide dengan visi misi corporate bisa di mutasi atau pindahkan atau jahatnya lagi bisa dipecat. Kenapa bisa begitu ? Inilah lihainya si konglomerat. Komunitas ini memegang tampuk kekuasaan pemerintah di level ring 1. Konglomerat hitam ini bisa “memaksa” sang Boss untuk mengganti pejabat yang mengganggu operasional usaha mereka. Tidak usyahlah dijelaskan lebih lanjut peristiwa peristiwa birokrasi di negeri ini ketika masyarakat menyaksikan pengalihan jabatan di posisi strategis.