Bekerja dan bernafas di Jakarta memang perlu perjuangan keras. Hidup diantara hiruk pikuk kumulasi segala macam persoalan Indonesia awak rasakan selama 30 tahun bermukim di ibukota. Pada awal masuk Jakarta, kota ini masih lengang. Tahun 1980 an masih leluasa berkendara di Jakarta. Namun lambat laun urbanisasi menggejolak. Pertumbuhan ibukota menari bagi perantau dari luar pulau Jawa, mereka 'bak laron laron yang mengejar lampu. Jakarta menjadi serbuan pencari kerja. Jakarta menjadi pilihan utama untuk mengadu nasib. Yes kota ini mulai meranjak naik kelas menjadi kota metropolitan.
Jakarta mulai terasa sesak ketika tahun 90 an menjelang.Di jalan Gatot Subroto seingat awak hanya ada 2 gedung tinggi. Gedung itu adalah YTKI dan Patra Jasa. Kemudian di bunderan HI , Hotel Indonesia berdiri megah tanpa pesaing. Sobat, kini lihatlah bangunan gedung berlomba menjulang kelangit. Jalan Thamrin, Sudirman dan Gatot Subroto sepertinya menjadi hutan beton. Belum lagi Jalan Rasuna Said yang dulunya belum ada. Kawasan kuningan ini menjadi kawasan elite pusat perkantoran bergengsi. Kelapa Gading apalagi kawasan yang tadinya rawa menjelma menjadi kota baru, demikian pula dengan pertumbuhan pemukiman yang mengepung Jakarta.
Pola hidup masyarakat Jakarta pun mulai bergeser ke gaya hidup hedonisme. Kesibukan dan kemacetan Jakarta memaksa warga untuk mendekati tempat kerjanya dengan cara tinggal di apartemen. Yes, pola hidup metroplitan dengan memilih mukim di Apartemen semakin populer dikalangan warga menengah atas. Pertumbuhan apartemen bak jamur di musim hujan. Rumah rumah kumuh terpaksa di bongkar, warga pemilik lahan pindah kepinggiran kota setelah mendapatkan ganti untung (rugi) yang lumayan.
Inilah evolusi pergeseran budaya. Kerukunan yang diwujudkan dalam gotong royong menjadi barang aneh di kawasan perumahan mewah dahn apartemen. Warga tidak merasa perlu lagi gotong royong, karena pemukimannya sudah bersih dan nyaman, artinya sudah dikelola oleh cleaning servce dan jasa pertamanan.. Pertemuan antar warga menjadi lebih sedikit, kalupun ada pertemuan itupun ketika bendera kuning berkibar disalah satu rumah warga yang berkabung.
Inilah gaya hidup metropolitan. Awak kuatir kepedulian sosial semakin menurun dan kerukunan warga semakin sirna. Peran dari Pak Jokowi lah yang kita harapkan agar Jakarta menjadi kota beradab, nyaman, aman dan tertib. Tentu dukungan segenap warga diperlukan agar program program prioritas pembangunan lebih mengedepankan aspek pertumbuhan budaya tradisionil. Jakarta boleh saja menjadi kota kosmopolitan setingkat di atas metopolitan, namun budaya betawi sebagai tradisi pemilik tanah hendaknya jangan diabaikan.
Salam salaman
PenasehatpenakawanpenasaraN
[TD]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H