Mohon tunggu...
Thamrin Dahlan
Thamrin Dahlan Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Mott Menulis Sharing, connecting on rainbow. Pena Sehat Pena Kawan Pena Saran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih "Sakit" Kehilangan Kekuasaan daripada Tidak Mendapat Jabatan

25 Maret 2019   20:01 Diperbarui: 25 Maret 2019   21:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Skenario hasil Pemilihan Presiden 2019 hanya dua saja. Pertama Jokowi Kehilangan kekuasaan, Prabowo Subinato Presiden Republik Indonesia 2019-2024. Skenario kedua Prabowo tidak mendapat jabatan sedangkan Jokowi kembali berkuasa. Tidak ada hasil draw kecuali Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan hasil pemilu tidak syah.

Berdasarkan kajian psikologis kondisi kehilangan dirasakan lebih memilukan ketimbang tidak mendapat kan kekuasaaan. Kenapa bisa dikatakan demikian ? Tentu saja karena masalah kehilangan ini mulai dari kehilangan harta, kehilangan keluarga tercinta sampai kehilangan kehormatan termasuk jabatan akan dirasakan lebih lama.

Pemulihan rasa kehilangan tergantung sebesar apa kecintaan kepada barang yang hilang atau kekuasaan yang diambil orang. Berbeda dengan seseorang yang memiliki niat tulus ikhlas berbhakti melalui satu jabatan. Ketika luput maka rasa kecewa tersebut tidak begitu dalam. Toh masih ada kesempatan untuk mendapatkan kembali jabatan tersebut pada periode yang akan datang.

Kehilangan jabatan yang dicintai dengan cara mempertahankan akhirnya kembali kepada niat nan tertempa dalam hati. Dalam posisi petahana tentu saja niat itu sudah dibarengi tekad ingin menlanjutkan pengabadian. Tekad melanjutkan pengabdian kepada nusa dan bangsa terkadang terkesan klise karena secara manusiawi nikmanya berkuasa itu ternyata memang melebihi segalanya sehingga mempertahankan kekuasaan wajar adanya.

Bukan saja sakit dirasakan oleh petahana, tetapi seluruh pendukung juga merasakan (meminjam istilah populer) sakitnya itu disini.  Bisa jadi itulah sebabya seluruh komponen pendukung dari bawah sampai keatas kekuasaan berupaya keras  agar  mereka tidak ikut terpinggirkan ketika lokomotif berganti masinis.   Kalau  boleh dikatakan akan terjadi kehilangan massal karena menyangkut resiko loyalitas dan dedikasi kepada pimpinan.  

Terlepas dari itu semua, akhirnya takdir Allah SWT yang harus di imani. Seluruh kejafdian di muka bumi ini da alam semsta sudah tertulis di kitab lauh mahfuzd. Siapapun manusia, sepintar apapun dia, mempunyai kekuatan sekuat apapun tidak bisa merekayasa takdir Tuhan Yang Maha Pemberi jabatan. Setiap paslon harus meyakini ketetapan Tuhan Yang Maha kuasa sembari berusaha dan berdoa semoga amanah itu di bebankan kepadanya.

Dengan demikian sikap siap kalah sudah harus diperlihatkan dan dibuktikan secara kesatria. Prabowo Subianto telah menunjukan jiwa sportif memberikan sikap hormat sempurna ketika Jokowi dilantik 2014. Apakah takdir akan terulang atau sebaliknya hanya Tuhan Yang Maha Esa mengetahui. Lembaga survey boleh saja mengeluarkan hasil penelitian, namun harus diingat mengeneralisasi angka rekaan survey sebagai hasil akhir pilpres 2019 adalah suatu ketakaburan.

Ada variabel "Tangan Tuhan" yang sulit di perhitungkan secara jeli oleh lembaga survey. Contoh paling tepat terjadi pada prosesi pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hanya 3 bulan sebelum pilkada tidak ada yang menyangka Anies Baswedan dan Sandiaga Uno unggul. Apakah peristiwa ini akan terulang di tingkat nasional? Tentu saja segala kemungkinan itu selalu ada.

Kita tunggu saja sampai menjelang hari pencoblosan 17 April 2019. Apakah nanti ada peristiwa luarbiasa yang membolak balikkan hasil survey. Tidak ada juru ramal yang bisa dipercaya (selaris bagaimanpun dagangnya). Rahasia keidupan itu hari demi hari kita buka sebagai lembaran yang kemudian ditasbihkan sebagai Takkdir.. So, semoga kehilangan segalanya jangalah sampai terjadi ketika memang takdir terkuak kehilangan kekuasaan. 

Salamsalaman

TD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun