Prolog
Pahlawan Nasional adalah gelar abadi untuk warga negara yang mempunyai jasa luar biasa untuk Nusa Bangsa Indonesia. Namun dibalik itu masih banyak pahlawan pahlawan lain yang berjasa pula pada skala keluarga. Seorang ibu melahirkan Pahlawan baik untuk tingkat dunia maupun untuk tingkatan nusantara. Oleh karena seorang ibu yang melahirkan pahlawan nasional justru adalah sosok pahlawan sejati. Bintang Pahlawan tanpa jasa pantas disematkan kepada se;luruh ibu ibu Indonesia.
Setiap tanggal 10 November dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Pahlawan kemerdekaan dan revolusi yang di komandoi Bung Tomo di Surabaya mempersembahlkan segala daya kemampuan mengusir tentara sekutu yang ingin menjajah Indoesia kembali. Nilai nilai juang Bung Tomo itu mengalir juga pada setiap warga terutama kaum ibu.Â
Kaum ibu lah yang melahirkan kemudian mendidik dengan penuh kasih sayang tak terbilang sehingga putra putri menjadi orang orang yang berguna bagi negara. Tak pelak pepatah kasih saya orang tua kandung sepanjang jalan sedangkan kasih sayang anak sepanjang penggalan.
Pahlawan keluarga kami bernama Hj Kamsiah Binti Sutan Mahmud (alm) Ibunda yang kami panggil dengan sebutan Mamak bersama Ayahanda H. Rd. Dahlan bin Affan (alm) mendidik 7 putra putrinya dalam segala keterbatasan. Alhamdulillah berkat didikan penuh kasih sayang itu kami anak anaknya berhasil menjalankan kehidupan dalam kesejahteraan. Inilah pahlawan keluarga kami dan saya rasa semua ibu di dunia adalah pahlawan untuk keluarga masing masing yang tidak mengharapkan balas jasa.Â
Berikut saya sampaikan sepenggal kisah nyata bagaimana seorang Pahlawan yang bernama Hj Kamsiah Binti Sutan Mahmud mendidik anak anak dalam pengorbanan nan tiada tara. Kisah selengkapnya tentang perjuangan Ibunda sebagai penghormatan dan rasa terima kasih ananda sudah di abadikan dalam Buku KASIDAH .
Tak punya sepatu
" Tidurlah nak, jangan kau risau besok kita ke jambi, kita beli sepatu ya." Emak membimbing tanganku ke bale. Hari dah malam, jam dinding diruang tengah berdentang 12 kali. Aku memang tidak bisa tidur malam itu, risau memikirkan sepatu. Alas kaki yang bernama sepatu itu tidak pernah kumiliki. Enam tahun duduk di Sekolah Rakyat (SR) kami anak anak dusun tidak pernah menggunakan sepatu ke sekolah. Sekolah memang tidak melarang bertelanjang kaki kesekolah, sesuai dengan kondisi sosial ekonomi warganya.
Aku risau, tiga hari lagi mulai belajar di SMP, aku belum punya sepatu. Risau pertama adakah sepatu yang muat dengan ukuran raksasa kakiku, risau kedua apakah emakku punya uang untuk membeilkan sepatu pertamaku. Semua anak laki laki dusun telapak kakinya besar besar, kekar melebar kekiri kanan dan memanjang. Telapak kaki itu kokoh, kuat, keras, kapalan, karena seumur hidup tak pernah di bungkus. Telapak kaki yang tak mempan dengan kerikil, duri onak hutan, jalan buruk berlobang, semua rintangan dijalan ditembus dengan berlari dan berlari dengan kaki telanjang.
2 minggu lalu kepala sekolah mengumumkan hasil ujian yang kami ikuti di dusun sebelah Bajubang. Bapak Ibu Guru dan orang tua serta Kepala Dusun bergembira ria karena murid kelas 6 dari Sekolah Rakyat (SR) milik PN Pertamina Tempino Jambi dinyatakan lulus semua pada ujian negara. Kami ditanya, mau melanjutkan kemana, karena di kampongku tidak ada sekolah lanjutan. Bapak dan Mak ku berkata Angkau harus sekolah terus, masukklah SMP di Jambi.
 Pecahkan tabungan