Kemajuan teknologi informasi dan telekominasi tidak bisa dibendung. Ibarat arus air deras dari pegunungan menyerbu tanah dataran maka semua terbasahi. Tidak bisa ditahan dengan kekuatan apapun. Demikianlah kemajuan zaman, perubahan adalah satu keniscayaan.
Orang orang tidak mampu menyesesuaikan diri dengan arus perubahan maka dengan sendirinya dia akan tertinggal. Kata orang melayu ketinggalan zaman.
Kamis, 31 Agustus 2017 selepas memberikan mata kuliah Pancasila di Akademi Perawat Polri di kawasan Condet Jakarta Timur awak melihat dari jauh dua orang Baduy sedang melepaskan lelah. Lamat lamat saya perhatikan mereka duduk di satu tembok rendah di seberang jalan sembari membuka bekal. Bukan bekal untuk makan dan minum namun yang dikeluarkan dari saku adalah telepon genggam.
Awak terkesima, wah boleh juga penampakan ini dijadikan bahan tulisan. Bersama satpam awak menyeberang jalan menemui saudara sebangsa dan setanah air. Kami bersalaman dan bertegur sapa ramah seperti yang baru dibahas di kelas bahwa sila kedua Pancasila itu dikenal dengan 5S. Senyum, sapa, salam, sopan dan santun.
Ternyata saudara Baduy ini sedang dalam perjalanan menuju ujung dunia. Itulah istilah yang boleh dipakai ketika awak mendapat jawaban tidak jelas, bahwa mereka akan berjalan terus sampai 4 botol madu yang dibawa terjual. Oh begitu, awak baru paham sekarang bahwa bukan sekadar berkelana berjalan tanpa alas kaki namun mereka juga membawa madu hutan.
Terjadilah transaksi 2 botol seukuran sirop berisi madu asli seharga Rp.100.000,- per botol. Tentu tidak tega pula awak menawar bersebab ada rasa solidaritas dan persahabatan di sana. Haqqul yakin madu itu asli tanpa tambahan dari bahan tumbuhan lain. Kehidupan orang Suku Baduy sangat sederhana dan kejujuran merupakan peninggalan dan pesan leluhur dalam menjalankan hidup dan kehidupan.
Jadilah awak berfoto bersama, duduk di tengah di antara dua saudara nan tiada lelah berjalan dan berjalan. Saprudin Satpam Akper Polri wong kito galo mengabadikan momen sejarah persuaan antar seorang hidup di zaman modern dengan warga yang masih mempertahankan kehidupan masa lalu.
Sebenarnya sering juga melihat Suku Baduy sedang berjalan kaki di pinggir jalan raya kota metropolitan Jakarta, namun baru kali ini awak berkesempatan bercengkrama dengan mereka bersebab kami mempunyai waktu luang setelah pula bertransaksi jual beli madu asli.
Satu hal menarik sejak tadi adalah keberadaan handphone di Suku Baduy. Dengan mengucapkan maaf seribu maaf awak minta Kang Saman demikian nama salah  seoran suku Baduy mengeluarkan ponsel tersebut dari sakunya. Sebenarnya dia agak keberatan sembari berucap, "kalau di desa saya barang ini tidak boleh dimiliki. Tapi tidak apalah mungkin di perjalanan hp ini berguna juga untuk komunikasi (mungkin),"
Ponsel milik Saman sangat jadul sekali. Saya tidak begitu memperhatikan merk telepon genggam itu namun di alat kominukasi mereka masih terdapat sejenis antene pendek. Sehingga dengan demikian bisa dipastikan hp ini termasuk kategori jadul pada generasi awal hp ditemukan atau hadir di Nusantara.
Poin yang ingin awak sampaikan di sini adalah bahwa tidak menjadi masalah ada handphone di Suku Baduy. Justru lambat atau cepat peradaban itu akan semakin terurai. Bercampur baur budaya Nusantara dengan datangnya budaya asing sebagai bukti adanya perubahan zaman yang ditandai oleh kemajuan teknoologi mutakhir.