Hari Raya
Hari raya bermakna hari besar (Akbar). Seperti juga Indonesia Raya, semua yang Akbar melekat pada bangsa ini. Hari Raya berbeda dengan hari hari lain, pada tanggal 1 Syawal umat umat Islam merayakan kemenangan. Kegembiraan yang pantas dirayakan karena yang berpuasa mendapatkan pengampunan atas segala dosa dan tingkah. Inilah hari istimewa untuk merayakan kemenangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh.
Pada dasarnya agama ini baik ketika para penganutnya “dipaksa” masuk bulan pelatihan. Kata dipaksa sebenarnya tidak juga tepat, namun itulah siklus kehidupan. Karena kasih sayang Tuhan yang Maha Kuasa lah bulan ramadhan di gilirkan setelah rajab dan syaban. Bulan tempat umat mensucikan diri dari kekotoran, kenistaan dan kecerobohan, atau kelalaian.
Tak bisa dibayangkan apabila ramadhan tidak digilirkan dalam hitungan setahun perjalanan hidup dan kehidupan anak manusia. Bisa jadi manusia terlena dalam keasyikan, kemasyukan duniawi, bebas mengumbar hawa nafsu tanpa ada batasnya. Sifat manusiawilah apabila nafsu hewaniyah telah mempengaruhi dan mempengaruhi dirinya.
Teringat tausyah Ustazd Shodik ketika meyampakan tausyiah di Mushola Nurul Iman Tempino. Ustazd "kampong" nan sederhana namun pesan rohani yang disampaikan sangat mendalam sekali. " Kita hidup di dunia ini hanya sementara dan sebentar di banding kehidupan di akherat" Oleh karena itu mari kita manfaatkan pelatihan ramadhan untuk dijadikan sikap perilaku di bulan bulan lainnya " Tausyiah disampaikan pada malam terakhir taraweh. Bersama Uda Buyung, Uni Lies dan duo keponakan Yunus dan Darus berserta belasan jamaah, kami mendengar pesan pesan kehidupan menjelang satu hari memasuki hari raya.
Baju Baru
Entah apa jadinya dunia ini, pertikaian, pertempuran malah sampai perperangan akan bergejolak di seantero muka bumi. Kehadiran ramadhan sesungguhnya sebagai REM , berhenti sejenak untuk mengaso. Sejatinya Ramadhan dapat diartikan sebagai gencatan senjata. Genjatan senjata dalam diri sendiri melawan nafsu dan gencatan senjata ketika lingkup antara sesama manusia. Dalam lingkup pergaulan yang lebih luas Ramadhan merupakan waktu yang tepat atau waktu jeda paling cocok untuk menghentikan sejenak pertikaian atau sebutlah konflik antara antar bangsa.
Ramadhan menjadikan umat mampu menahan diri, karena kunci pengendalian diri itu terletak di sini. Ketika perut dikosongkan otomatis kekuatan nafsu dilumpuhkan. Ramadhan itu bolehlah di sebut sebagai ibadah berjamaah. Seperti juga Sholat berjamaah yang memberikan pahala berlebih dibanding sholat dilakukan sendiri. Berjamaah secara logika bermakna saling menambahkan kekuatan keimanan, kebersamaan, saling menghormati . ibarat sebatang lidi yang dikumpulkan menjadi satu sehingga dalam keterpautan dan keterikatan dalam bentuk sapu maka jadilah kekuatan luarbiasa.
Lebaran identik baju baru. Baju baru , celana baru sepatu dan semua serba baru sepertinya sudah menjadi tradisi menyambut hari raya idul fitri. Bukan saja anak anak yang ribut minta di belikan atribut sebagai penanda hari lebaran, orang dewasa tidak mau kalah. Wajar saja di hari kemenangan semua serba baru,. sangat pantas pula bagi anak anak yang baru belajar puasa dan kemudian berhasil tidak batal satu haripun untuk menerima hadiah lebaran Hadiah lebaran segala baru mulai dari baju sampai kepada sepatu dan lain lain itu merupakan motivasi utama agar anak anak mampu memaknai lebaran sebagai suatu prestasi di bidang pembinaan kerohanian. Bagi keluarga dalam kondisi keterbatasan ekonomi menjadi kewajiban warga setempat untuk memberikan baju baru. Inilah buah dari pelatihan lebaran di lihat dari sisi berjamaah berpuasa tadi.
Semangat Baru
Satu hal yang tidak boleh dilupakan bagi para shoimin, hakekat puasa itu adalah mengajarkan bagaimana pola hidup yang diredhoi Allah SWT sesuai dengan tuntunan Al Qur'an dan Hadist. Selama satu bulan penuh terjadi perubahan drastis pola hidup umat. Ramadahan mengajarkan umat untuk kembali disiplin waktu. Disiplin meneğgakan sholat di awal waku ketika azan diumandangan dan melaksanakannya secara berjamaah di masjid atau mushola. Ramadhan juga menata sikap perilau umat. Perilaku saling menghormati, sabar menghadapi segala macam ujian atau cobaan. Berusaha berbuat kebaikan kepada sesama dengan cara membangun silaturahim kepada siapapun tanpa memandang kelas strata kehidupan.