Berdiri di tempat yang sama di lingkungan UNJ (Universitas Negeri Jakarta) empat kali, terasa kurang. Meski – untuk saya karena didapuk – berbicara perihal yang tak jauh-jauh: menerbitkan buku secara indie atawa mandiri. Di hadapan 20 orang peserta TWC (Teacher Writing Camp) 6, saya menjadi bagian menebarkan virus nulis yang diadakan KSGN (Komunitas Sejuta Guru Ngeblog). Dalangnya: Omjay, Wijaya Kusumah.
“Saya tidak banyak membicarakan teknik-teknik seperti Nara Sumber lain... maka saya duduk saja, ya Bapak-Ibu!” izin saya. “Karena ini lebih seluk-beluk menerbitkan buku fisik,” imbuh saya.
Di era milenial kini, menerbitkan buku fisik, gampang. Bahkan, untuk satu buku per satu judul. Sebab, ini era digital. Di mana cover atau sampul buku bisa dicetak dalam hitungan menit, tanpa proses di kamar gelap, film dan sampai lembaran plat sebelum dicetak di mesin cetak. Dan murah. Cukup satu lembaran uang rupiah kita enam digit. Kurang dari sepuluh rupiah, tepatnya. “Bahkan siswa-siswa di SMTP-SMTA Cibiru, Bandung, ada yang sudah menerbitkan buku lebih dari lima judul. Lalu dipamerkan di ITB,” ungkap saya untuk menyemangati mereka, para guru. Masak kalah dengan anak-anak yang masih mengeja kata, hehehe.
Singkatnya, dengan menulis dan membukukan karyanya dalam sebuah buku ber-ISBN ada jejak karya yang bersemayam di Perpustakaan Nasional. Jejaknya panjang. Bisa disimak di kemudian hari oleh anak-cucu. Ini mengingatkan penulis besar seperti Pramudya Ananta Toer, Seno Gumira Adjidarma, Arwswendo Atmowiloto yang kebetulan pernah saya temui pada sekian puluh kemudian. Namanya kini, terukir sebagai penulis yang bermanfaat dan bermartabat.
Sejak TWC yang pertama, niatnya memang agar guru-guru piawai atau mulai dengan gerakan ini: menulis. Kata Omjay, menulislah setiap hari, maka lihatlah apa yang akan terjadi. Dan dari pengalaman saya yang sudah separo lebih usia bergelut dengan literasi, guru dan dosen adalah makhluk yang selazimnya dekat untuk bidang yang satu ini. Karena selain mempelajari psikologi, tiap hari (kecuali hari libur) berdapan dengan makhluk-makhluk yang mesti dibimbing, dididik. Tak sekadar mentransformasikan ilmu, pegetahuan di bidangnya.
Oleh karenanya, ketika ada peserta yang passion-nya menulis puisi, ya silakan. Jika ingin merambah genre lain, kenapa tidak? Jurusnya? “Dee, Dewi Lestari, penulis novel PerahuKertas saja tak bisa menjawab. Apalagi saya. Tapi, menurut saya: mulai saja!” kata Atjih Kurniasih, alumni TWC 5 yang kemudian menerbitkan buku: Mencoba Mejadi Guru Kreatif dalam berbagi di TWC 6.
Menulis, kerap saya umbar baik di hadapan siswa atau pemula, ibarat (belajar) naik sepeda atau berenang. Tak ada teori ribet. Harus mana dulu yang dilewati secara teori. Jika sampai dengkul babak belur, atau menelan air di kolam renang dalam belajar tidak tenggelam, ya tak apa. Menulis, perlu proses. Kapan menanam yang baik? Mungkin dua puluh tahu lalu, sebut Ukim Komarudin, guru Lab School yang sudah menulis beberapa judul buku, dan ia menceritakan proses. Bukan hasil.