Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan Telah Mati Beneran, di Era Kekinian Medsos?

28 Agustus 2016   11:31 Diperbarui: 28 Agustus 2016   12:17 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Indonesia yang beragam (dok.pusponugroho.wordpress)

Waktu, satu-satunya hal yang tak bisa elakkan dan ditaklukkan. Dan kini, memasuki abad di mana ruang dan waktu tak berjarak dengan belahan dunia mana pun. Sehingga – boleh jadi –  orang beribadah pun tergerus, dengan dunia yang serba digital, cepat berlari. Atau benar, “Tuhan telah Mati”? Termasuk di negeri ini, yang masih hidup kearifan lokalnya?

Upacara larung atau Pesta Laut di sejumlah wilayah negeri ini, masih berlangsung tiap tahun. Seperti di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Pantai Parangtritis, sampai Pantai Utara: Tegal-Pemalang-Pekalongan pun tetap dengan upacara adat itu. Di Bali, apalagi. Dan masyarakat  tetap merawat keberagaman itu, tanpa usil kalau tidak ingin disebut terlibat dengan berbagai pertimbangannya.

Lalu, kita begitu miris budaya ber“sampurasun” kemudian justru dibelokkan oleh organisasi Islam yang mestinya menjadi kedamaian tanpa memaksakan kehendak. Padahal, budaya di tatar Sunda tak ada yang bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sehingga Acil Bimbo – yang selama ini menyuarakan lagu-lagu religious (jenis qasidah modern) perlu menantang pimpinan organisasi Islam yang berlebihan itu. Yang beginian, tentu, ruwet kita merawatnya. Bukan rahmatan lil alamin lagi, jadinya.

Di lapangan, tentu tak sedikit dengan adanya tafsir dan pemaksaan kehendak semacam itu. Celakanya, memang bila komandannya berwawasan dangkal tentang lingkungan, kearifan lokal yang semestinya dijaga bisa menjadi nista. Dan jika dianggap perlu, melalui pendekatan seperti panutan Nabi, Pendeta, biksu, atau para agamawan yang memberi dan menebarkan pehamaman secara damai. Bahwa kepanjangan tangan di daerah-daerah yang mengerti warganya. Di mana penyuluh agama, semisal di wilayah Bandung Barat yang selama ini diberi honor oleh Kemenag, menjadi mediator yang bekerja untuk menjaga umat. Untuk kebersamaan dan berdamai. “Tidak menutup kemungkinan Pemda juga memberikan insentif kepada mereka yang menjadi mediator program-program pemerintah,” sebut Bupati Bandung Barat Abubakar menindaklanjuti niatan kementerian ini.

Penjagaan seperti wilayah Bandung di atas, memang bisa menjadi rapuh di era digital dan media sosial sekarang ini: bisa berupa FB, twitter, instagram. Karena begitu mudahnya orang “memainkan media sosial”, dilakukan dengan tanpa diketahui siapa pun dari tangannya yang memegang gadget. Bentuknya bisa sederhana: teks, gambar atau video.  Di mana jika sebuah kabar atau isu SARA dihembuskan dan menjadi viral, tak terhankan efek yang ditimbulkannya.

Pengguna internet di negeri ini, di kisaran 100 juta. Dan tak aneh kalau Indonesia, dalam hal pengguna internet via ponsel lebih banyak lagi. Atau dalam catatan, para netizen kita lima besar dalam menggunakan Google – penghubung terdekat dan termudah untuk menggunakan media sosial. Sehingga managing Editor Google Indonesia Tony Keusgen sadar untuk memperluan akses Internetnya di sini. Yang artinya, setiap saat bisa dilepaskan oleh tangan-tangan jahil apabila yang memegangnya tak bijak dalam kehidupan berbangsa di negeri ini. Termasuk, misalnya, bisa menyulut apa yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatera itu. Atau hal yang mestinya tak ada hubungannya dengan agama, karena seorang mahasiswi S2 kesal, menyebut Jogja bukan tempat yang bagus. Maka, ia pun dibully balik, sebagai contoh sederhana. Bahwa penggunaan medsos pun perlu hati-hati dan bijak. Think before posting.

Pentingnya Bacaan Penghalus Budi Pekerti

Sastra, satu di antara yang perlu dibaca secara seksama. Yang “isinya” mengalirkan penghalusan budi. Jika di Amerika Serikat saja (salah satu) presidennya menyebut: bila politik itu kotor, (sastra) puisi yang akan membersihkannya.

Kata lain, bahwa kita diminta untuk membaca – bila dalam Islam seperti Iqro (bacalah!) – secara luas, termasuk teks sastra. Meski, kita mesti jujur. Dalam soal yang satu ini, membaca secara umum, termasuk membaca buku sebagai salah satu indikasinya sangat payah di negeri ini. Di mana Unesco (tahun 2013)  sudah menerakan. Bahwa 1 (satu) judul buku dibaca oleh seribu orang . Sebuah petunjuk, kurangnya membaca.

Apa mau dikata. Jika orang yang membaca ditengarai akan menjadi berkepribadian halus, jelas kecil atawa sedikit jumlahnya, sayang. Mengingat teks-teks (terutama) akan membuat seseorang menjadi runut dalam berpikir sebuah hukum kausalitas: sebab-akibat.  Terlebih jika ia mampu menuliskan buah pikirannya secara bertanggung jawab. Dalam berliterasi kita memang payah.

Setidaknya, pendiri Kelompok Pencinta Buku Anak (KPBA) Dr Murti Bunanta menyebut, bahwa dengan adanya media pandang dengar, terutama televisi saat itu: 90-an, menggerus upaya anak bangsa ini dalam soal membaca – yang belum addict soal membaca. Dan jika kita sedikit saja menyimak acara-acara di layar kaca kita, sungguh memprihatinkan jika dipegang oleh mereka yang menggunakan media ini sebagai bisnis. Di mana acuannya selalu rating atau hal-hal yang penting untung sebanyak-banyaknya. Sehingga seorang programmer yang seorang ayah tidak memperbolehkan anaknya untuk menonton hasil pekerjaannya: i.r.o.n.i.s. Tak ada kebanggaan seorang ayah yang mestinya ikut mendidik anaknya, anak sendiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun