Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tjiptadinata Effendi Saya Pilih: Pasti!

14 Oktober 2014   12:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:06 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14132400972116833343

TAK ada keraguan sedikit pun Pak Tjiptadinata Effendi akan saya pilih sebagai Kompasianer of The Year. Ya, setelah diumumkan dan dinominasikannya, dari lima orang nama menjelang Kompasinival 2014. Apa alasannya? Supaya kita mendapatkan panutan di tahun ini dalam “peristiwa” tahunan Kompasiana.

Tidak hanya saya, rasanya, jika nama Tjiptadinata Effendi akan menjadi “pemenang” yang selama ini sudah dimenangkan oleh beliau dalam melewati jalan terjal hidup dan tulisan-tulisannya, terutama di Kompasiana. Itu tak bisa tidak. Dalam soal tulis-menulis, rasanya tak ada yang menandinginya. Apalagi jika menilik usianya yang sudah berkepala tujuh. Dalam satu hari bisa beberapa artikel yang ditayangkan dengan berbagai topik. Sebuah kontribusi konkret dan bermartabat.

Di tengah hiruk-pikuk politik tanah air,  berjejalnya pendapat di media sosial, dan terutama di Kompasiana, kita pun membutuhkan sebuah – persisnya seorang – panutan. Agar kita ikut waras. Tidak masuk arus tidak waras dan jauh dari akal sehat (commonsense). Dalam istilah Jawa yang kerap diunggah dari Pujangga Ronggowarsito: setidaknya lebih baik waras. Ya, dalam era yang demikian pepat dan sarat masalah – di mana antara yang benar dan yang salah dibolak-balikkan oleh mereka yang punya kemauan atas nama pribadi dan kelompoknya. Sehingga menjadi bias. Banyak teori komunikasi yang bisa menjelaskan hal ini.

Ini memang memasuki kala bendu, yang kerap disitir WS Rendra. Di mana dalam sepenggal puisinya: rakyat mesti dibangunkan, dibangkitkan. Di mana kisruh dan pelajaran buruk berhamburan tak karuan. Lalu, kita mesti tidak terlena. Apalagi, masih meminjam istilah Si Burung Merak, kita dijejali oleh hal-hal yang cenderung klangenan – (H)iburan menyesatkan.

Pada sosok Pak Tjip, kita mendapatkan keseimbangan itu: kebijaksanaan (wisdom). Tak disebabkan oleh usia, seseorang menjadi bijak. Karena toh kita mendapatkan contoh nyata, di hari-hari ini. Mereka yang mestinya memberikan jalan kepada yang “lebih muda” dan yang memang “terbaik” dari yang ada, tak terjadi. Malah membuat bingung orang kebanyakan. Sebenarnya, selama ini, ia itu berbaju kepalsuan? Sulit untuk tak menjawab: ya!

Mungkin orang-orang seusia Pak Tjip, sudah selazimnya untuk membagikan pengalaman dan kebijaksanaannya. Dan lewat tulisan, kebermanfaatannya menjadi tidak tunggal alias meluas. Keberbagian beliau – yang sudah menjelajahi penjuru dunia  dan bahkan jangan dilupakan menyambangi semua sudut tanah air nilai tambah yang tak dipunya oleh banyak orang. Dengan alasan apa pun.

Saya bisa menuliskan panjang tentang sosok yang satu ini. Mengingat saya mengenal lumayan dekat. Dan tulisan pendek ini, seperti niat untuk memberikan pemahaman. Agar kita tidak keblinger pada orang-orang yang memberi manfaat. Dan bermartabat! Itu saja.

Salam, Kompasiana. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun