[caption id="attachment_324547" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi/Admin (Tribunnews.com)"][/caption]
Ti Tuk Te
Oleh Thamrin Sonata
SEMALAM aku tidak tidur. Karena aku mengetik, entah untuk apa. Karena hujan. Aku terus-menerus memencet-mencet huruf yang ada. Ngasal. Ngaco.
“Kamu sesungguhnya sedang gundah, kan?”
“Karena kau.”
Aku mendengar suara tawamu yang selalu setengah mengejek. Apalagi belakangan ini.
“Kita seperti makhluk terkutuk.”
“Kau saja yang terkutuk.”
“Kamu tidak?”
“Tak.”
Aku mendengar kau tertawa ngakak. Kali ini.
“Apa maksud tawamu itu?”
“Entahlah. Yang jelas kau ini seperti anak kecil. Yang senang diberi permen. Melunjak-lunjak. Lalu permen itu diambil lagi. Dan kau menangis. Dasar.”
Hm. Keterlaluan sudah. Ti memang seperti itu. Selalu menganggapku sebagai lelaki tak pernah bisa berdiri kukuh. Hanya karena aku tak berani melamarnya. Dalam perjalanan panjang sebuah pertautan hati. Hati? Aku mesti berhati-hati kini. Kepadanya.
Aku terus memencet-mencet huruf. Meski tak bermakna apa-apa. Walau seribu, dan mungkin lebih kata tak berarti dan tak berbunyi. Kecuali kegundahan yang tak berujung. Aku mesti memutuskan ini. Dengan Ti yang kuanggap mulai aneh. Dalam serenteng kicauan yang meracau.
“Atau kamu sendiri yang ngacau?”
Mungkin. Mungkin akulah yang tak bisa disimpulkan. Sebagai apa pun.
Menjelang pagi, dan mendengar iringan tetes-tetes air dari langit, aku seperti baru sadar. Dengan siapa aku berkata. Kecuali mendengar deras hujan. Mendengar tangisan, entah suara siapa. Mungkin suara tetangga jauh yang punya anak karena dingin malam dan hujan yang menderas hebat. Dan banjir.
Pagi datang. Tanpa matahari.
“Semalam hujan begitu deras, ya Te?” tanya Ibu.
“Entah.”
“Kok entah?”
“Entah hujan entah tidak. Tapi tanah basah.”
Ibu tertawa.
“Tawa Ibu seperti Ti.”
“Ti. Siapa Ti?”
Aku diam sejenak.
“Tidak siapa-siapa. Mungkin Dewi Kunti.”
“Asal bukan kuntilanak.”
“Hiiiy, Ibuuuu ….”
Aku tidak sarapan nasi. Kuseruput secangkir kopi, dan dua potong pisang goreng pisang kepok.
“Aku kapok dengan Ti, kurasa.”
Ibu yang melintas, dengan kesibukan menyapu halaman seperti mendengar suaraku.
“Kau bicara sama siapa, Te?”
Aku diam. Apa aku bicara?
“Makanya. Jangan suka mengkhayal.”
Ibu benar.
Aku yang bingung.
Selesai mandi, aku duduk di teras lagi. Yang kali ini ada sekepal ketan ditaburi kelapa parut. Ada sambal cair di piring kecil. Ah, ibu selalu begitu. Mengerti saja anaknya yang tak tahu diri ini. Yang kabur-kanginan. Tak jelas apa maunya. Tidak juga mengerti harus apa. Sehingga tak berani mengenalkan Ti yang mestinya sudah menjadi istri.
“Mau ke mana, Te?”
“Belum tahu, Bu.”
“Kau ini ….”
“Apa, Bu?”
“Ndak jelas. Sudah kau kawin saja. Biar ada tanggung jawab. Kamu ini kan laki-laki.”
Apa iya? Itu sebuah resep yang selalu didengung-dengungkan oleh orang jadul seperti ibuku. Walau Ibu lebih waras. Meski sekarang menjalani hidup tidak dengan Ayah yang sudah meninggal dua tahun lalu. Dan aku, anaknya yang tersisa belum berkeluarga. Yang lain-lain sudah mentas, berkeluarga dan hidup lumayan berarti. Walau dimulai dari pernikahan yang belum bisa disebut siap: karena sudah bekerja mapan dan punya karier yang jelas.
“Kalau dengan Ti bagaimana, Bu?”
“Ti, Ta, Tu. Siapa sajalah. Asal dia wanita dan bisa memberiku cucu lagi. Kaupikir apa enaknya sih tinggal di rumah besar ini hanya dengan lelaki gagah sepertimu tapi nggak jelas ujungnya, dan seperti lelaki yang tak bermartabat. Yang kauanggap dunia ini hanya sebatas perut kenyang. Sedangkan orang lain ada yang kebanjiran, dan mesti gotong-gotong kasur agar tidak basah. Hidup ini kan mesti melewati tantangan.”
Ibu selalu benar. Meski dengan kalimat panjang-panjang dan seperti orang menegur. Aku seperti tak bisa mengelak dari apa yang yang dilontarkan. Bagaimanapun, ia membuktikan itu dengan kenyataan yang ada. Telah menjalani hidup dengan tegar, di usianya sudah mulai senja. Berbeda denganku yang mengada-ada. Sehingga Ti menanti tiada henti. Dan mungkin sekarang sudah tidak menanti lagi. Aku yang berharap-harap cemas. Kenapa aku tak berani melamarnya?
“Ti, aku ingin ketemu.”
“Trus?” suaranya di ujung telepon genggam.
“Ya, kita bicaralah.”
“Langsung saja. Tentang?”
“Masa depan kita.”
Tawanya meledak, dan meledek.
“Te, Te …Ti ini sudah punya masa depan. Di depan pintu rumahku sendiri. Kau tahu, toh? Aku menjual makanan sebagai sebuah pilihan. Kau itu yang tak punya buntut untuk dipegang. Sebagai lelaki, kamu tak jelas. Itu jelas.”
“Jangan terus-terusan berkata begitulah, Ti.”
“OK. Trus?”
“Kita ketemu. Aku kangen.”
“Singkirkan itu kangen. Apa maksud ketemuan ini.”
“Aku mau melamarmu.”
“Bukan karena ibumu?”
“Bukan. Eh.”
Ti mendengus.
“Kau siap menjadi lelaki yang ikut sibuk menata dagangan makanan?”
“Siap.”
“Kau siap belepotan sambal, terasi, garam, cuka atau bumbu yang mungkin bisa membuatmu muntah.”
“Aku siap.”
“Hm, suaramu kedengaran mantap.”
“Memang. Aku mantap tuk melamarmu.”
“OK. Kita segera nikah. Kaupikir aku betah apa lama-lama menjadi gadis lapuk.”
Aku ingin menutup pembicaraan.
“Aku traktir kamu. Di restoran Puss. Sebuah restoran yang akan mengilhami aku untuk membuka kuliner. Tidak cuma dagang nasi uduk untuk sarapan tetangga.”
“Bukankah itu tempat pertama kali kita ketemu. Janjian?”
Ti tertawa.
“Ya, walau kau traktir aku dengan uang dari ibumu, kan?”
Ah, Ti. ***
Jelang Subuh, Angkasapuri – sekarang 25.2.14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H