Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sepasang Dengkul Putih

17 Juni 2016   07:18 Diperbarui: 17 Juni 2016   10:57 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi saja (dok.TS)

DENGKUL itu mencorong dengan terlingkar bungkus jeans hitam ketat. Begitu jelas dan kontras. Terlebih ketika ia, dengkul sebelah kiri itu menopang di atas kaki jenjang lainnya. Sementara, wajah dan sekitar lehernya, tampak lebih putih lagi. Mana mungkin tempurung dengkul melebihi bagian yang mungkin lebih dirawat dengan cream dan bahan-bahan perawatan wanita modern.

Ah, ternyata dengkul wanita berkaus merah itu benar-benar putih. Saat dengkul kaki kanannya diubah kedudukannya, dan menyilang di atas kaki jenjang kirinya yang mencorongkan bolong jeans hitam mode yang banyak dikenakan wanita tahu diri cantik dan berbadan sintal.

“Jadi sepasang dengkulnya, benar-benar putih,” pikirku yang berdiri bergoyang-goyang dan mengintip-intip berdiri di commuter line menuju Stasiun Jatinegara. Dari Stasiun Kampung Bandan.

Wanita muda yang kutaksir dua-tiga tahun dibawah usiaku 27 tahun itu asyik dengan gadgetnya. Senyumnya kadang menguak. Sesekali mengikik. Kadang ia berpegangan pada lengan wanita di sebelahnya yang sedikit kalah cantik. Mungkin temannya itu kalah cantikn lebih disebabkan tak kutemukan sepasang dengkul putihnya. Sebab, ia mengenakan celana dombrang longgar dengan atasan baju berbunga-bunga batik.

“Kita sebentar lagi turun, Sis ...,” ingatnya pada si dengkul putih berjeans hitam itu saat kereta berhenti dan sempat celingak-celinguk dan menelengkan kepalanya menyimak pengumuman dari suara saat itu di Stasiun Gang Sentiong.

“Okay ...!”

Duh, suaranya OK juga tuh si dengkul putih. Seperti makhluk sempurna untuk kukenali, dan bila perlu menjadi target pedekate. Selanjutnya, terserah apa maunya si dengkul putih.

Gleng-glang-gleng.

Kereta pun bergerak ke selatan menuju Jatinegara. Aku mulai cemas. Dua sosok cantik itu akan turun, dan aku belum sempat manuver apa pun. Sayang tak ada teknologi yang membuatku tersambung dengan gadget berlayar lumayan lebar si dengkul putih.

Dan, ia turun. Dan didampingi si cantik temannya yang dicuekin sejak Kampung Bandan, Kemayoran, Pasar Senen hingga Gang Sentiong. Nasib! Aku terpaku sebentar, dan segera menempati bangku kosong si dengkul putih. Berharap bokongku terbungkus jeans bisa meresap di tempatnya ia berpantat bulat bagus dan indah ia duduk itu. Tersambung.

Kletek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun