“Jalan Tol pertama di atas laut, Bali Mandara, seluruhnya dikerjakan oleh putra-putri Indonesia, anak bangsa sendiri,” kata Sekjen Kemen PU, Ir. Agoes Widjanarko, MIP. “Lalu kenapa dibangun di atas laut? Karena harga tanah di Bali itu mahal. Itu pertimbangannya,” urainya lebih lanjut.
Maka, Tol Bali Mandara (Maju, Aman, Damai dan Sejahtera) yang diresmikan 23 September 2013 bukan semata mengurai kemacetan di wilayah padat Pulau Dewata itu. Sebab jalan sepanjang 12,7 kilometer yang menelan biaya 2.4 triliun rupiah itu sebuah capaian anak bangsa yang perlu diapresiasi. Pekerjaan selama 14 bulan itu menjadi penanda. Bahwa masalah infrastruktur masalah yang bisa menyambung ke berbagai persoalan, termasuk ekonomi, tentu. Di samping teknologi masalah SDM dan gerak maju ke era yang terus berlari.
Mengertilah kami, sebuah lanskap indah bak lukisan di atas permukaan permadani laut biru ketika gambar diambil dari atas yang muncul lewat dua screen cukup besar di Ruang Multimedia (audio-visual) Perpustakaan PU Gedung Heritage di Jalan Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang ditayangkan selama beberapa menit sebelum acara Nangkring ala Kompasiana pada Selasa, 29 April 2014 dimulai. Tak hanya tol Bali Mandara nan elok, tentu, pekerjaan yang telah diselesaikan Kementerian Pekerjaan Umum. Karena di sana ada capaian-capaian dan realisasi semisal, Kelok Sembilan, Suramadu, jalur Lingkar Nagreg dan sebagainya. Bahkan Jembatan Semanggi, karya Ir. Sutami, menteri PU selama empat periode (1964-1978) itu tak bisa ditepis sebagai salah satu karya anak negeri setengah abad lebih itu.
PU bukan Departemen atau bagian yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun pendorong atau pendukung dari infrastruktur yang tak bisa diabaikan begitu saja,” papar Ir. Agoes di luar kepala lebih lanjut.
Ketakziman itu pun muncul bersamaan dengan langkah konkret apa yang telah dikerjakan PU jauh sebelum negeri ini merdeka, sejak zaman Hindia Belanda, Departement Burgerlijke Openbare Werken. Atau setidaknya Departemen ini sudah ada sejak 2 September 1945, yang awalnya berkantor pusat di Gedung Sate Bandung. Di mana melalui file-file lama, kita takjub dibuatnya. Sebab PUmelalui Perpustakaan Kementerian Pekerjaan Umum berdasarkan PeraturanMenteri PU No. 01 tahun 2008 telah berbuat cukup mencengangkan. Betapa tidak, melalui foto (warna sephia) cukup menggambarkan apa yang telah “dilakukan” Kementerian PUini. Stadion Gelora Bung Karno, dan Monas di antara yang menjadi bagian dari kerja Kementerian PU. Ketika masih disebut Departeman PU.
Lalu di era teknologi informasi pun bermetamorfosis dan masyarakat bisa mengakses http://pustaka.pu.go.id . Jika paparan audio visual di dua screen – dalam acara pada sore itu – baru soal infrastruktur yang “terbaru” maka bisa dimaklumi. Karena sesungguhnya PUtidak hanya mengerjakan jalan Pantura (Pantai Utara Jawa) yang kerap disebut sebagai Proyek Abadi, dan terutama menjadi topik pilu ketika menjelang lebaran tiba. Sehingga Menteri Pekerjaan Umum Ir. Djoko Kirmanto, Dipl HE sebal, dan terpaksa incognito: apakah citra tambal-sulam itu bisa ditepis.
Ini yang menimbulkan kecemburuan, setidaknya hingga sepuluh tahun terakhir bagi seorang kompasianer perlu menanyakannya. Bahwa jalan lintas Sumatera yang tidak kunjung baik, dan selalu seperti kubangan dan tempat mandi kerbau. Di mana, terutama truk-truk bertonase tinggi terperosok di dalamnya hingga beberapa hari. Juga yang dari arah Sulawesi. Bahwa infrastruktur di Indonesia Timur sana, merana dan menjadi anak tiri.
Perihal jalan, menjadi pertanyaan mayoritas yang mampir ke PU Padahal, infrastuktur bisa meliputi: jembatan, air, jalan kereta api, dan bahkan perumahan sebagai kebutuhan masyarakat. Ini seperti yang disebutkan, bahwa jika mengingat PU, mestinya “Kita ingat ABC, Air, Bina Karya dan Cipta Marga,” sebut Danis Sumadilaga, Kepala Puskompu Kementerian PU membongkar diri secara ringan.
Moderator, Iskandar Zulkarnaen, admin Kompasiana pun merasa lega. Bahkan dengan guyon, agar peserta nangkring tidak lagi hanya menanyakan pada permasalahan jalan, namun bisa air. Termasuk ketika kemudian sesuai dengan niat tema acara: “Mengenal Infrastruktur PU lewat Perpustakaan Kementerian PU” seperti apa perpustakaan yang telah ada. Juga sekaligus mengusulkan niatan pengembangan perpustakaan PU. Ternyata di lantai dua, di atas kami nangkring, telah disetting akan dijadikan sebuah pendokumentasian sebagai capaian Kementerian yang menangani infrastruktur negeri yang luasnya mencapai 1. 191.578.68km2. Bahkan akan dibuatkan museum – yang akan memperjelas jejak kementerian ini, kelak.
Namun toh melalui audio visual yang ditayangkan sebelum acara, dan dokumentasi-dokumentasi semisal leaflet, buku, album sudah menggambarkan. Bahwa apa yang dikerjakan PU secara fisik, tidak hanya bisa dilihat dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dari infrastruktur itu semata. Karena gambaran sekaligus perbandingan untuk ke depan, menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa ditampik. Niatan ini, sudah menjadi sebuah kontribusi konkret. Bahwa insfrastruktur yang memadai dibutuhkan tidak hanya oleh masyarakat negeri ini, namun bagi para pelaku yang ada di Kementerian PU Sesungguhnya, capaian-capaian PU bukan sulapan, dan mendadak. Karena sebagai departemen atau kementerian teknis, yang hampir selalu – dan semestinya – dikomandani oleh orang yang ahli di bidangnya. Tepatnya, selalu “insinyur” yang bukan orang politik. Termasuk menteri PU yang dua periode ini menunjukkan kerja “teknis”, dalam sepuluh terakhir ini, bukan politik yang cenderung mengedepankan image belaka. Di mana masyarakat bisa mengakses sanitasi. Tersebutkan, misalnya, cakupan masyarakat terhadap air minum saat ini (2014) sebesar 42% - 62%. Meningkat. Oleh karenanya, Menteri PU berharap, target Milennium Development Goal (MDGs) bidang yang sangat vital ini. “Pada tahun 2025 nanti tidak ada lagi masyarakat yang tidak punya akses terhadap air bersih.”
Namun niatan mendokumentasikan capaian-capaian PU kelak yang lebih komplet itu, bukan semata sebuah hajat untuk melawan lupa. Mesti menjadi, sebuah tempat dalam lompatan-lompatan ke depan, seiring teknologi informasi yang berlari. Yakni bisa dijadikan referensi dan studi, di mana persoalan pekerjaan umum (infrastruktur) mendatang sebagai tantangan nyata. Sehingga fungsi Kementerian Pekerjaan Umum, tak cuma sebagai tukang tambal-sulam jalan, terutama Jalur Pantura semata. Tidak! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H