Cerita MingguPagi:
Angin pagi menampar pipi kananku, dengan lembut. Cukup meriapgerakkan rambut agak panjangku. Tidak dengan mata yang nanar jauh ke ujung entah. Hanya segaris biru muda, sedikit kelabu membentang.
“Kau belum juga tiba, Dinda ….”
Aku sedang mengeluh, kali ini. Ketika rindu sudah meruap jauh ke ujung harapan dari seberang asa. Wajah bulatmu, senyum tipis tanpa suara dan bibir tak membutuhkan pemerah, cairan atau apa pun. Bibirmu sudah mengatakan semua tentang kita. Yang ditusuk-tusuk ruang dan waktu pembungkus rindu.
“Kita bertemu di Pelabuhan. Kautunggulah, Kang Te Es ….”
Ya, aku menunggu di dermaga pagi ini, di sini di Pelabuhan Merak yang masih sunyi. Seperti permukaan laut yang tak bergelombang dengan suaranya saat kau kuantar menuju ke seberang di Lampung. Sebulan lalu. Di sana kau menyelesaikan masa depan kita. Yang sebenarnya tak kuharapkan benar. Kecuali kita segera berada di satu atap rumah masa depan. Aku sudah menjadi seorang pekerja di sekitar Pelabuhan. Sebagai seorang laki-laki untuk masa depan bersamamu, Dinda.
Kenapa kau terlambat, atau kau takkan datang? Jangan. Ini sebuah bentuk ketidakbenaran cintamu kepadaku. Ini bukan watakmu. Bukankah kau selalu rebahan, dengan rambut panjangmu dan kusisiri dengan jemariku yang kaubilang itulah sisir cinta paling lembut yang kaupunya dan bila perlu sepanjang masa hingga keriput pun menjelma.
“Kita besok punya anak berapa, Kang ….” saat itu, seperti meragukan kelelakianku.
“Sekuat kau mampu melahirkan buah cinta kita.”
“Lima?”
“Tujuh.”