JANJIAN dengan Kompasianer Much. Khoiri yang nginep di sebuah Hotel bilangan Jalan Sabang, akhirnya ketemuannya di Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta. Dasar wong Suroboyo nggak ngerti lor-kidul, sudah di Taksi paling terkenal ibukota pun, ia masih teriak-teriak. Ternyata, sopir taksinya yang ngapak-ngapak, ngaku nggak ngerti di sebagian jalan ibukota. Sopir baru dia!
“Sampeyan masih baru, ya?” tanyaku setelah numpak taksi, dan menuju ke Kompas-Gramedia bilangan Palmerah, Rabu (10/9) kemarin.
Ya, untunglah ada tukang jalan kaya saya, hahaha. Yang jalan tikus pun lubangnya kutahu. Sehingga sampai di Kantor Elex, penerbit KKG ini, pas. Nggak memelesti janji ketemuan dengan Mbak Novia.
Alkisah, bereslah. Bahwa sebelum tahun ini tutup, buku Cak Emco alias Much. Khoiri perihal “rahasia” nulis akan muncul terbit – yang saya sodorkan setengah tahun lalu. Disepakati, sebagaimana lazimnya penulis dan penerbit: royalty dan sistem pembayarannya. Juga Cak Emco akan meminta endorsement, di antaranya ke Pepih Nugraha.
Nah, di Gedung yang sama, kami – saya dan Cak Emco – menuju ke kantor Kompasiana. Kang Pepih muncul, dan ia menawarkan, “Kita di dalam saja, yuk!”
Jadilah tiga orang tak berbilang muda lagi di Ruang kerja Manager Kompasiana. Biasa, obrolan mengalir. Satu penguasa blog keroyokan, satu dosen lulusan Paman Sam dan ngajar creative writing di Unessa Surabaya dan satunya lelaki kabur kanginan (tukang jalan). Jadilah.
Ini buku karya Much. Khoiri yang diterbitkan Satu Kata. (foto: doc TS)
“Ini buku untuk Kang Pepih,” sebut Cak Emco seraya menyodorkan buku coretannya – sebagian telah dipublish di Kompasiana. Tajuk buku: Jejak Budaya Meretas Peradaban. Lalu sret, sret … ia menandatangani buku berkover bagus nan artistik yang diendors oleh koleganya – dan semuanya bergelar Guru Besar. Termasuk penulis terkenal yang cerpennya Minggu lalu muncul di KOMPAS Minggu: Prof. Budi Darma.
“Kalau gitu, buku ini dibedah saja di sini, di Kompasiana,” usul Kang Pepih.
Cak Emco setuju. Saya? Ya, ngikut saja. Apalagi kalau bikin Kompasiana rame, full acara. Mendiskusikan buku, menebarkan literasi secara masif. Ya, sebelum menuju Kompasianival, November mendatang.
Saya yang sedang mempersiapkan buku keroyokan ala Kompasianer, menjadwalkan acara membedah buku di Kantor Kompasiana. Tajuk Pancasila, akan diisi sekitar 20an lebih: Bain Saptaman, Iswekke, Thamrin Dahlan, Tjiptadinata Effendi, Roselina TE, Maria Margaretha, Mike Reyssent, Enny Soepardjono, Cucum Suminar, Cay Cay, Teguh Heriawan, Fary SJ Oroh, Ben Nur, Ngesti Setyo Moerni, Sri Sugiarti, Agung Soni, Giri Lumakto, Akhmad Fauzi, Mutiaraku, Gaganawati, Didik Sedyadi, Isson Khairul dan Ando Ajo.
Berarti itu akan menjadi yang kedua, setelah meluncurkan buku Rifki Feriandi dan Maria Margaretha. Kang Pepih mempersilakan ruang di K untuk kegiatan yang berkait dengan Kompasiana dan para kompasianernya. Ia senang kalau Kompasiana makin ramai, dan menampung kreativitas Kompasianernya.
“Sebentar lagi, Dian Kelana juga akan membukukan masa kecilnya,” ungkap saya di sela perbincangan gayeng itu.
“Nah! Makin banyak Kompasianer nulis dan membukukan, semakin asyik dan ramai,” sahut Kang Pepih, cepat!
Itu sebab, pada acara Kompasianival 2014 di TMII itu akan ada booth tersendiri. Yakni untuk buku-buku yang ditulis Kompasianer. Untuk mengukur sampai di mana keberlanjutan Kompasianer yang aktif di Kompasiana. Sebuah tantangan dan sekaligus untuk meninggalkan jejak peradaban, jejak budaya.
Tak terasa, satu setengah jam berlalu. Kalau nggak inget waktu, mungkin bisa terus, terus dan terus. Ya namanya saja orang-orang tukang nulis, hehehe. ***
Sayangnya, sekeluar dari acara itu, kami shalat, dan HP plus kacamata tertinggal di Masjid tak jauh dari Slipi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H