Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis Ya Menulis Saja (500 Artikel di Kompasiana)

4 Agustus 2014   15:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:28 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407116519556929227

Mengarang itu Gampang-nya Mas Wendo itu saya baca ketika belum menjadi buku – dengan sampul wajah Arswendo Atmowiloto, gondrong dan sedang ngetik di depan mesin ketik. Ya, bahkan ketika masih ditik di mesin tik, di redaksi Majalah HAI. Sebelum dimuat (diterbitkan atau sekarang ditayangkan) di majalah remaja yang dikomandaninya, di Palmerah Selatan 22, Jakarta di Lantai 3, Kompleks Kompas-Gramedia.

Saat itu, cerpen-cerpen saya sudah dimuat di majalah HAI – dan media lainnya tersebar di majalah remaja dan kumpulan cerpen yang marak saat itu. Termasuk Koran ibukota yang saat itu terbatas jumlahnya. Artinya, sebelum membaca tips Mengarang itu Gampang, saya sudah menulis atau mengarang. Bahkan tahun 1982 saya sudah punya buku novel anak-anak – diterbitkan penerbit mayor dan malah di penerbit yang dipunya Ketua Ikapi.

Saya terjerumus nulis, tidak jelas awalnya. Mungkin karena kuliah di komunikasi, meski nggak sampai rampung. Lalu ke Jakarta karena tawaran Bung Smas, temen Mas Wendo yang produktif mengarang serial Noni, Keluarga Sirkus, Pulung, Cerita Bada Isya dan novel Cinta Seorang Penakluk (1978) yang kemudian difilmkan dengan judul Gadis Penakluk dengan skenario digubah oleh Parakitri Tahisimbolon – wartawan Kompas.

Kendati sudah menulis lumayan banyak, saya masih menyimak tulisan (buku) tentang menulis. Selain Mengarang itu Gampang-nya Mas Wendo kubaca Teknik Mengarang (Mochtar Lubis), Menulis Cerpen, Yuk-nya Mohammad Diponegoro, buku karya Aoh K Mihardja, Putu Arya Tirtawirya dan tulisan-tulisan lepas di media cetak lainnya. Selalu ada sebagai energi tambahan dari tulisan-tulisan yang kubaca itu.

Selalu merasa kurang, setelah menulis. Maka di antara penulis yang saya kenal, dikenal istilah: tulisan terbaik adalah tulisan yang belum ditulis. Tulisan mendatang. Di mana dalam tulisan itu, ada “kebaruan” dalam menuliskan. Atau ada kedalaman tulisan.

Seiring waktu berjalan, saya berkenalan dengan penulis-penulis hebat di dalam negeri: Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohammad, Gerson Poyk, Toha Mohtar, SN Ratmana, Paus Sastra HB Jassin sampai Pramoedya Ananta Toer. Sama sekali tak terbayangkan, karena menulis saya menandatangani buku karya saya untuk bertukar dengan Pak Pram – yang juga menandatangani buku karyanya yang saya sodorkan: Cerita dari Blora, peraih Magsaysay Award dan pernah diusulkan mendapat Nobel Sastra.

Lalu, menulis itu sendiri apa?

Bisa banyak jawaban. Termasuk ada yang menyebut untuk bisa eksis, mejeng, mengeluarkan uneg-uneg dan serombongannya. Termasuk sebagai keseimbangan jiwa. Termasuk untuk dijadikan “pekerjaan”. Dan untuk melawan lupa. Sah saja.

Dari menulis, saya sampai terdampar dan mengenal dengan budayawan Melayu dari Riau: Tenas Effendy. Beliau sudah menulis, terutama tentang Melayu dan lebih banyak bukunya diterbitkan di Malaysia, seratus lebih judul. Ketika saya yang berkunjung ke rumahnya untuk wawancara, dan saya sodorkan bahwa dengan menulis untuk menghaluskan rasa, tak ditampik. “Karena dengan menulis, kita diajar untuk berpikir runtut. Tidak asal berbicara,” ungkap penghimpun “Tunjuk Ajar Melayu” berketebalan 687 halaman dan memberikan buku luks itu kepada saya. Yakni perihal Butir-butir Budaya Melayu Riau.

Memasuki era digital, atawa sosial media, saya terdampar di Kompasiana. Tulisan saya apa saja: Politik, fiksi, wisata, bola sampai humor. Entah kenapa, enjoy saja. Padahal, menulis di sini tak berhonor, sehingga dalam diskusi dengan Pepih Nugraha, terungkap. Bahwa yang gratisan itu akan berkelanjutan dengan “penghargaan” di tempat lain – sambil merujuk buku yang dibacanya. Ah, mungkin benar. Meski saya dalam acara berbincang dengan Buku Penerbitan KOMPAS bicara dengan penulis-penulis senior di media mainstream KOMPAS, akhir tahun lalu. Bahwa kompasiana, yang diistilahkan Pepih Nugraha sebagai media bukan kolumnis atau jurnalis, namun bisa berarti. Dan bagi saya asyik-asyik bae. Menulis ya menulis saja. Sehingga tak terasa, ini adalah tulisan ke 500 (lima ratus) di sini bersama kompasianer yang jumlahnya ratusan ribu itu. Hm.

Lebih dari itu, minggu ini saya mengeditori dan insya Allah menerbitkan buku “Cara Narsis Bisa Nulis” buah oret-oretan alumni Jalan Ganesha, Bandung: Rifki Feriandi. Bukan seperti Mengarang itu Gampang-nya Mas Wendo. Tapi renyah dibaca, dan perlu disimak. ***

gambar cover: doc Thamrin Sonata

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun