Cerbung: Bagian Tiga
ilustrasi diambil dari lukisan koleksi pribadi (repro:TS)
DIKUTIPNYA anak rambut yang jatuh di kening. Tampak lapangan putih. Tak setitik pun noda, entah warna apa. Sepasang telaga bening dikerjap-kerjapkan. Sesekali berhenti, dikatupkan. Yang menonjol sepasang bibir merah muda ranum, basah. Kadang kedut sepasang alis goloknya.
Mala menghembuskan nafas pelan-pelan sembari membuka telaga bening matanya.
“Apa yang bisa kaulakukan, Neng Mala ….”
Tak ada jawaban. Cermin itu memantulkan seorang dara galau. Lama. Secuil pun tak ingin menyunggingkan senyum. Kepada diri sendiri.
“Kamu kuat, Mala?”
Seperti semula, cermin itu memantulkan wajah muramnya. Tak memberi jawab atas apa yang dipikirkannya. Ketika hari baru mulai berjalan bila mentari pagi disebut sebagai penguak jalannya kehidupan. Bagi penghuni planet yang bisa menyambutnya dengan meneguk secangkir kopi sembari menyimak deret kata di lembar berita di koran. Atau sarapan puisi, sisa semalam tidak dengan mimpi indah.
“Neng ….”
Sang dara tetap tak mampu menghalau wajah muram. Hati galau yang ada di depan hidung. Diusapnya lereng tinggi dengan ngarai nan indah. Tadi basah, desisnya. Kemarin juga basah. Apakah hari ini akan basah? Mestinya tidak. Apalagi di depan pasang-pasang mata di jalan-jalan.
“Neng mau ke mana? Melewati jalan mana?”
Disisirnya rambut dengan jemari lentiknya. Dipejamkannya mata di depan layar laptop yang menampilkan deret hitung maya. Semua diam. Facebook, twitter, ata apa pun. Ia baru menyeringai ketika disentuh klik cursor.
“Ikoem ….”
Berhamburanlah salamnya: assalamualaikum. Yang biasa dilontarkan Mala. Entah ke mana. Karena ia tak mengerti kepada siapa. Mungkin kepada dunia, dunia maya. Mungkin bukan makhluk seperti diriku? Ah.
“Waalaikum salam wr wb ….”
Ada sesungging senyum di sudut bibir Sang Dara. Matanya tidak tersenyum. Lurus ke layar. Kosong. Atau sedikit saja. Belum bermakna apa.
“Pagi, Om ….”
Titik-titik bergerak-gerak di layar. Belum juga muncul apa, kata. Ia tak pernah salah untuk menjawab FB yang satu ini. Tidak seperti kepada yang diperkirakan sebaya. Atau yang lebih sedikit di atas usianya. Lebih-lebih yang laki-laki. Selalu dengan dua kesimpulan. Bahasa lebay dengan rayuan. Atau kasar ingin tak sekadar ketemuan.
“Mala cantik …kenalan, dong.”
Bilangannya tak tertampung di layar laptopnya.
“Makasih udah di-add ya.”
Kerap Mala tak berekspresi. Mesti ia melayani. Ingin menjadikan teman-teman dari mana pun, dari dunia maya. Untuk meretas galau yang kerap mengimpit diri. Hingga dada terasa sesak. Berkepanjangan.
“Pagi, Mala ….”
Titik-titik sedut-sedut. Belum mengeluarkan kata, kalimat apalagi.
“Sedang apa, Om?”
“Menatap Mala…..”
Ah, Mala mendesah. Mala meyunggingkan senyum kali ini. Lebih terkuak dibandingkan dengan tadi. Dadanya terasa dielus. Suka.
“Emang Mala apa?”
“Emang Mala apa? Emang Mala bukan mojang Bandung yang kerap bingung….”
Mala menghirup udara lebih dalam, dan menghamburkannya pelan-pelan. Dijaga. Seolah tak ingin dibaca oleh Om di seberang yang mengaku dari Jakarta. Seorang dengan seraut wajah nan teduh. Dari balik wajah dengan hiasan hidung, mata, rahang dan mulut yang kuat.
“Mala emang suka bingung….”
“Sampai sekarang?”
“Ya.”
“Teges amat.”
“Karena amat ya. Kenapa mesti ditutup-tutupi?”
“Ufs.”
Mala menjengkangkan diri ke belakang. Bruk. Punggungnya sejajar dengan kasur tipis sederhana sebagai tempat tidurnya. Di ruang tak seberapa itulah Mala menggapai mimpi. Dan hari-hari ini sedang menghempaskannya. Dalam galau yang dalam.
“Dunia ini nggak adil, ya Om?”
Titik-titik …dan, muncullah satu kalimat.
“Dunia Mala?”
“Ya.”
“Aaaah ….”
Mala mengejar.
“Kenapa ah?”
“Karena bukan oh.”
“Iiiih ….”
“Kenapa?” cepat muncul di layar.
“Om … malah candain Mala.”
Muncul di layar dengan kata-kata: hahahaha.
“Tuh, kan?”
“Apa?”
“Om, jahat.”
Lama tak ada jawaban.
“Kok diem?”
Titik-titik, dan lama tak kunjung muncul. Mala resah. Meski wajahnya merona. Tak lagi seperti ketika ia tadi habis mandi dan bercermin. Tanpa mengolesi bedak apa pun. Pada hari-hari di mana ia tak mengerti harus apa. Mesti berbuat apa. Aku adalah korban ketidakadilan. Yang dipecat dari tempat kerjaku. Mempurukkan dan menghempaskan aku di sini, di kamar ini. Sendirian.
“Kamu sedang melewati masalah apa? Saya belum ngerti apa. Saya nggak ngerti harus apa. Namun setidaknya dengan chat begini, kamu bisa bercerita….”
Mala diam. Haruskah aku bercerita? Mestikah aku mengabarkan kabar duka diri ini? Sedangkan ia entah siapa di sana.
Mala gamang. Mala bimbang. Namun jemarinya memencet-mencet tuts di kibor laptop tuanya.
“Malu, ah.”
***
Bersambung
Bagian pertama
http://fiksi.kompasiana.com/novel/2015/04/15/cerbung-mala-dara-dari-dago-712437.html
Bagian dua
http://fiksi.kompasiana.com/novel/2015/04/15/cerbung-mala-dara-dari-dago-712437.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H