Cerita Minggu Pagi:
The Dark Side of the Moon
Kadang, perlu untuk lari menjauh meski sesungguhnya mendekat kegalauan itu. Seperti menghempaskan tubuh, memejamkan mata dan fly dengan lagu di sebuah café. Suasana tak begitu ramai dengan ruang remang dan didekati gadis semampai pundak terbuka kaus ketat hitam.
“Boleh duduk di sebelah, Mas?”
Aku menelengkan kepala sebentar, dan menggeser pantat di sofa empuk yang dindingnya tertempel Bob Marley, The Beatles, Si Bibir Ndower Jagger hingga Elvis Presley.
Pertanyaan selanjutnya di awal-awal seperti itu, standar dan klasik. Ini sebuah pertemuan entah apa bentuknya seorang lelaki dan seorang wanita cantik yang kemudian menyebutkan dirinya Cindy, entah benar entah tak.
“Cindy cuma mau menemani Mas Te Es, kalau boleh…..”
Aku tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Bukannya sudah menemani sejak sebelum segelas bir melewati tenggorokkan Cindy?”
Ih! Ringkiknya sambil mencubit pahaku. Kemudian ditopangkannya paha mulus putih ke pahaku. Aku bisa kemudian beraksi menepuk paha itu, dan kemudian menjalar atau setidaknya menepuk-nepuknya. Berkali-kali sampai telapak tangan ini menemukan jati dirinya.