Gelaran tahunan Kompasianival 2016 di Smesco, Jakarta, baru digulung layarnya. Para Kompasianer yang kopdar, pulang ke masing-masing panggonannya. Termasuk balik ke kampung. Entah naik kereta, bus, mobil pribadi, pesawat sampai yang naik kapal.
Susy Heryawan, Bambang Setyawan, Ya yat, Ns Rahayu Setyawati Damanik, Fitri Manalu, dan bahkan Onno W Purbo (Kompasianer baru) sudah menuliskan apa saja yang bisa ditulis mereka pasca ditabalkan sebagai “terbaik”. Ini penting. Mengingat banyak Kompasianer aktif yang menyesalkan. Kenapa setelah menjadi terbaik, kok ngilang ditelan aroma rutinitasnya: entah mengajar, megawai PNS, Swasta atawa apa pun. Seolah-olah, jadi: Juara lalu pergi.
Susy Heryawan, satu di antara yang bisa disebut makin ngegas nulis – sebagaimana niatan Kompasiana ini diwujudkan sebagai media warga: sharing dan connecting. Passion-nya, hehehe, soal politik kian mengayuhkan kuat ia mancal. Bamset, malah nulis soal susu, eh pungli di daerahnya – sebagaiman kekuatannya sebagai netizen asal Salatiga. Lho, keduanya – Susy dan Bamset – sama dari negeri itu, sebelah selatan ibukota Provinsi Jawa Tengah. Di mana di situ masih ada aktivis dan dosen dan guru besar Arief Budiman tinggal. Meski kena parkinson.
Juga Ns. Rahayu Damanik. Ia seperti diberi bensin kelas super. Passionnya kian jelas di mana. Ilmu yang didapat, seperti klop dengan apa yang bsa dibagikan di sini, di Kompasiana.
Tulisan ini perlu saya tulis. Sebab, rasanya ndak enak kalau gelar yang sudah tersemat di keningnya itu kok jadi menghilang. Karena pada diri saya pun tercekat: apa sih maksudnya selama ini menulis? Kok setelah mendapat “gelar juara” justru ngilang ndak karuan, tak menulis, maksudnya. Ya, sayang saja kalau biasa nulis, yang merupakan ekspresi dari warga dan punya tampungan di Kompasiana, kok ndak ngelanjutken.
Memang. Bisa saja kesibukan baru setelah menjadi yang juara, hehehe, sehingga males nulis di Kompasiana. Atawa ndak sempet. Kalau benar yang belakangan, ndak apa. Tapi kalau berkesan setelah juara, tak perlu lagi nulis. Itu yang disayangken.
Benar. Itu hak mereka – Kompasianer yang ngilang – yang ndak nulis lagi. Meski untuk Kompasianer terbaik 2016 ini saya punya impian bukan yang kemudian ngilang itu. Bisa dibilang para pemenang ini saya sudah bersinggungan secara langsung – termasuk Onno Purbo pakar IT itu sebelum Kompasianival. Justru Bamset yang belum, namun ia niat membukukan tulisan-tulisannya seputar Salatiga di komunitas KutuBuku yang saya gawangi. Gud!
Kenapa saya punya harapan itu? Bagaimanapun mereka rata-rata di usia muda dan produktif. Yang notabene pula mereka memang benar punya passion di wilayahnya itu. Bukan abal-abal. Ini seperti yang dinyatakan Fitri Manalu (fiksianer 2016) untuk lebih giat nulis. Bagi wanita PNS Sumut yang sudah punya buku kumpulan cerpen itu, menulis adalah tarikan hati. “Kemenangan Bukanlah Akhir Perjalanan” seperti menandaskan niatnya sebagai penulis.
Bamset, apalagi. Ia sebagai buruh serabutan – nyebut dirinya – yang bisa gentayangan jika menyangkut soal akar rumput. Apa saja akan disikat olehnya, kalau perlu disembulkan ke publik yang lebih luas, dalam hal ini: Kompasiana.
Jika di wilayah dan atau passion Kompasianer terbaik ini dijagai oleh mereka, niscaya harapan kita – atau TS lah – akan terpenuhi. Tak sekali berarti, sesudah itu mati! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H