Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kompasiana di Tugu Proklamasi

7 September 2014   15:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:23 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410053375992590462

TERSEBAB tukang jalan, saya jadi tukang jajan, makan. Dari jalan itulah, sesekali terdampar di pameran. Dari pameran kecil tingkat RW di lingkungan terbatas hingga nan canggih, semisal pameran dirgantara. Termasuk pameran sunyi, book fair, di mana buku-buku diobral hingga teknologi atawa gadget yang selalu ramai pengunjung. Belum pameran otomotif, berbayar pun diburu mereka – pertanda rakyat negeri ini kian makmurkah?

“TS datang dan membawa buku-buku,” adalah berita nggak enak di facebook. Karena itu berarti menggiring saya (TS) mesti bertanggung jawab datang di stand Kompasiana dalam acara Pameran Iptek dan Diskusi di Tugu Proklamasi.

Datanglah saya ke sana, tempat Proklamasi dikumandangkan, dan sayangnya rumah bersejarah itu  –  oleh sejarawan Dr Asvi Warwan Adam (Lipi) yang temui di tempat itu setahun lalu, disebutkan: “sudah tak ada”. Dan panitia menyambut saya, dengan mempersilakan menuliskan jati diri. Lalu diberi arah mana stand Kompasiana.

Terjadi kebingungan. Karena Maria berdua si mungil Hirorotul Fikri belum menemukan di mana Kompasiana harus buka dan berada. Jangan-jangan Kompasiana anak tiri, pikirku. Maka Ando Ajo yang gondrong itu menghubungi Erri Subekti. Terombang-ambing, oleh Panitia akhirnya Kompasiana bisa dapat tempat – berdampingan dengan stand perihal e-voting. Apa yang harus dikerjakan? Materi, simbol, banner atawa apa pun tak ada. Jadi? Buku-buku yang saya bawa ya mesti dipajang. Lalu Y Banner yang baru saya buat semalam, direntangkan: Baca Buku ini!! Maka Kamu Jadi Penulis (provokasi nggak, tuh?). Catatannya, meski sepi, 3 (tiga) buku goresan jebolan ITB Rifki Feriandi itu laku. Jelas, di tengah acara yang ingar-bingar perihal iptek itu, buku masih bisa dibeli. Dari karya Kompasianer pulak.

Dengan stand seadanya itu ditunggui Maria-Ando-Hiro yang prigel, nanya-nanya ke panitia dan sesekali keluyuran mencari info stand-stand yang ada. Muncullah beberapa Kompasianer: Kang Ihsan, Secangkir Kopi, Dwi Klarasari, Dian Kelana, Friska, Jeng Ngesti Setyo Moerni sampai Gahab sang penyair bertopi. Istri pentolan Fiksiana Community Erri datang ketika menjelang tutup tenda, hahaha.

Stand Kompasiana, tanpa ribet. Kompasianer yang datang, kopdar ringan. (foto: Ganendra)

Acara itu relatif nggak rame. Bahkan saya perlu bertelepon ke teman kartunis – karena ada stand Pakarti, gerombolan kartunis yang komandannya saya kenal baik. “Berita itu ndadak, Mas. Saya nggak ke situ. Yang datang ya yang yunior,” jelasnya via telepon. “Kalau ngerti Mas TS datang sih, kita bisa ketemuan dan ngobrol di situ. Saya ajak Mas …” bla-bla.

Berarti Pakarti nasibnya sama seperti Kompasiana.

Dan apakah saya yang tukang jalan nyesel? Nggak. Karena Dian nyolek, “Kita cari makan, yuk,” katanya. Dan kami yang sudah sama-sama tua mengudap gado-gado. Sama-sama setuju, sedang mengurangi yang namanya makanan berkolesteroong, eh, kolesterol. Dan sembari nunggu ulegan gado-gado di bawah rindangnya daun pepohonan luar pagar Tugu Proklamasi, kami  ngobrol. Simak nama Kelana, yang berarti, “Saya kan tukang jalan, Alhamdulillah anak kecil saya yang beda dengan yang nomor dua 21  tahun sekarang menjadi teman ibunya.”

Huadauh. Bener. Dan itu disebut Dian Kelana sebagai sebuah kebaikan Tuhan. Dan ia pun siap-siap menerbitkan buku masa kecilnya – ia seorang jurnalis asal Sumbar dan sekarang menetap di daerah Jakarta. Ia menyiapkan tetralogi – ini hanya bisa dilakukan oleh penulis bernafas panjang. Saya ingat Pak Pramoedya Anata Toer yang saya sambangi rumahnya sewaktu masih di bilangan Jakarta Timur dan menuliskan karya-karya Pulau Buru-nya itu. “Saya pengin buku itu dikatapengantari Pepih Nugraha dan bisa nanti dipajang di Kompasianival,” jelas orang awak Bukittinggi itu sederhana.

Hari pelan-pelan beringsut sore. Lalu perbincangan dengan yang muda-muda bertambah gayeng. Terutama perbincangan tentang mengumpulkan dalam wadah yang lebih bermakna. Semisal Kang Ihsan yang merasa iri dengan komunitas lain, yang bisa eksis. Padahal, Fiksiana Community yang ngendon di Kompasiana, semestinya bisa lebih dari yang sekarang. Meski pada stand Kompasiana di acara Sabtu (6/9) itu tak sempat menghadirkan bukunya Syasya, misalnya. “Kita mungkin bisa ngadain semacam Arisan. Ya, wujudnya, anggota bisa membukukan karyanya. Ini kan bisa melebar ke depannya,” urainya.

Nah!

Tak ada yang sia-sia. Saya yang merasa tua, mengiyakan ketika menjelang bubaran, Jeng Ngesti ngusulkan untuk jalan-jalan ke Garut. Yang ada di situ “setuju”. Maria mencatet. Saya? Apalagi kalau nggak setuju. Namanya tukang jalan. Pastilah, mau. Apalagi kemudian – ini yang nggak enak, persis di facebook di awal tulisan – didapuk Jeng Ngesti: “Nanti Bung TS yang menjadi penunjuk jalan ke sana. Eh, seorang dua ratus lima puluh ribu bias cukup nggak?”

Walah. Ini urusan emak-emak, yang biasa ngitung perkara duit atawa biaya.

Langit mulai kelabu, pertanda hari akan berganti nama. Eh, status. Saya mengemasi buku-buku yang saya colek-colek dan terbitkan dari para Kompasianer nan rancak. Saya rengeng-rengeng, mendengar lagu yang kerap membuat merinding, “Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah ….”

***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun