[caption id="attachment_337713" align="aligncenter" width="644" caption="Ilustrasi/Kompasiana"][/caption]
COVER both side adalah idiom baku bagi sebuah media massa. Di mana ada keseimbangan dalam “menuliskan” sebuah “berita”. Karena ujungnya, pemberitaan itu untuk masyarakat, dan diusahakan mendidik dengan keseimbangan dan keadilan.
Pagi itu, pasca deklarasi Capres Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, saya menemukan sebuah berita satu halaman penuh di koran Sindo. Tulisannya full tentang acara deklarasi Prabowo. Saya mengernyitkan kening: lha tentang Jokowi-nya mana? Kok tak ada di halaman satu juga?
Beruntung, tak berapa lama KOMPAS tiba dan saya baca. Di halaman depan: ada dua pasang capres, lengkap dengan gambar Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.
Di media layar kaca, kerap disebutkan media elektronik pun, menjadi tergambar dengan cukup jelas – pasca deklarasi capres itu. TV One akan lebih mengabarkan tentang pasangan Prabowo dibandingkan dengan pasangan Jokowi. Sebaliknya, Metro TV akan mengulas tentang Jokowi dan pernak-perniknya secara lebih mendalam (deep reporting).
Maka, jika kita menilik ke belakang terjadinya ketidakseimbangan peran media massa itu, akan cukup jelas: tidak cover both side di atas. Jika ingin menyebut yang lebih gamblang, media media tidak fair lagi di era Pemilihan Presiden 2014 ini. Sebuah kenyataan yang sudah terjadi sebelum pilpres 2014 di negeri ini yang hanya diikuti oleh dua pasang calon.
Apa yang terjadi? Karena di media yang cenderung tidak seimbang dalam mewartakan – mengulas atau mewacanakan – perihal pilpres ada orang-orang (pemilik) media yang terlibat di dalamnya. Secara singkat, rakyat tidak mendapatkan informasi yang seimbang, dan tak ikut “terdidik” termasuk dalam hal politik. Ini menyedihkan.
Peran media warga
Mochtar Lubis, wartawan keras kepala yang mendirikan Indonesia Raya, habis-habisan menggempur tabir Pertamina di era tujuh puluhan. Akibatnya, koran dibredel – di era Pak Harto dan sempat ditahan di era Bung Karno tanpa “kejelasan”. Dalam sebuah acara pers, saya termasuk ada di antara kerumunan berdialog dengan sastrawan Jalan Tak Ada Ujung dan Harimau-Harimau itu, berbagi kekeraskepalaannya. Ia yang mendirikan majalah sastra Horison, sempat menolak saya wawancarai dengan alasan tegas dan jelas. “Kalau saya membikin koran lagi, saudara akan saya angkat sebagai salah satu reporter,” katanya kepada kami yang muda-muda, karena sepakat dengannya. Bahwa menjadi juru warta harus jujur, berani dan adil.
Mendapatkan media di tengah arus teknologi informasi yang begitu deras dan berlari itu, menjadi sebuah kesulitan tersendiri. Kalau warga tidak mengkritisinya dengan cermat. Sebab, media yang mestinya seimbang (cover both side) itu, kini kian tak mudah ditangkap. Mereka (era pers perjuangan) , hitung-hitungannya lain dibandingkan dengan semangat mereka yang ada di era sekarang ini. Kaki yang terbenam di dalamnya, sebetulnya dan sejujurnya, niat mendirikan media bukan lagi “perjuangan” seperti Mochtar Lubis, PK Ojong, Gunawan Mohammad – untuk menyebutkan nama.
Sah saja, memang.
Jika sekarang ini ada media warga semacam kompasiana, dalam pilpres 2014, itu lebih karena diisi oleh warga. Termasuk bisa menjadi si peniup peluit yang ditulis Pepih Nugraha – dan tetap menaati asas jurnalisme. Semisal, ketika ada pihak yang merasa dirugikan dan menyambagi kompasiana seraya meminta (data) siapa yang menulis, sebagai penanggung jawab kompasiana, ia tetap tak menyebutkan siapa si peniup peluit (whistle blower), kecuali kalau sudah di pengadilan. Betul. Ada asas perlindungan bagi penulisnya.
Di kompasiana, menjadi terbelah dan kubu-kubuan adalah sah. Karena masing-masing punya sudut pandang dan pemikiran. Dan sebagai media warga bukan sebuah institusi penerbitan atau media massa. Penulisnya, para bloger dan bisa siapa saja. Meski Thamrin Dahlan, sembari menyerahkan buku yang ditulisnya, (21/5) di acara peluncuran buku Ahok saya agak miris: setelah 9 Juli (hari pemilihan presiden) akan menjadi normal lagi, katanya.
Thamrin Dahlan menyiratkan. Bahwa ia – sebagai kompasianer – yang aktif di kubu capres Prabowo menjadi tidak nyaman. Meski, sekali lagi, ia menyebutkan bahwa ia tetap tegar, dan bahwa tindakannya itu sebuah pilihan. Dan buku yang ditulisnya, Prabowo Presidenku, sudah semestinya mentaati asas sebuah buku. Yang bisa disanggah oleh tulisan (buku) jika ada yang merasa tidak sejalan.
Dari paparan ini, saya hanya ingin mengatakan. Bahwa kita layak berpolitik dengan cara yang cover both side, seimbang dari dua sudut berbeda. Dan perbedaan itu indah. Mestinya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H