Persis di sebelah kiri saya, Maria Margareta, berdiri mengacungkan tangan. Dan dipilih, untuk mengajukan pertanyaan sekaligus melepas uneg-uneg perihal kekerasan yang dilihat sebagai seorang pendidik di lingkungannya. “Guru pun ada yang masih melakukan kekerasan kepada anak didik. Saya jadi gemes,” ungkap Kompasianer yang sudah menulis buku Guru Plus.
Sontak, pernyataan Maria mengundang Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI), Ir. Agustina Erni, M.Sc menyimak secara sungguh-sungguh pada seminar nasional diskusi publik “Bersama Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” yang diadakan di Oranye Kuningan Hotel, Jakarta, Sabtu (3/12).
Meski hal yang semestinya mustahil ini sudah menjadi rahasia umum di lingkungan pendidikan. Setidaknya, apakah disebabkan guru punya kuasa terhadap murid? Padahal, sebagai seorang pedidik yang selazimnya digugu dan ditiru anak didiknya, memberi contoh dengan keteladanan yang “sempurna” atau lebih baik alias tak melakukan kekerasan bila bersifat tidak mendidik . Setidaknya, ia menjadi salah satu kepanjangan tangan orangtua si siswa – selain mentransformasikan ilmunya – untuk ikut mendidik generasi secara bertanggung jawab.
Apalagi, ketika KPPA sudah mengamati dan mendalami persoalan di Rumah Susun (Rusun) Marunda, Jakarta Utara. Di mana Rusun ini – sebagai percontohan perhatian – yang dihuni oleh berbagai macam warga kelas bawah, muncul persoalan-persoalan, terutama, kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, mesti diakui selalu meningkat. Jika menilik tabel yang diterasorotkan di screen yang ada, adalah:
Namun menarik, ketika mucul “Festival Budaya Perempuan: 1001 Cerita Perempuan Ciliwung untuk Kesetaraan Perdamaian dan Penghapusan Kemiskinan” yang diadakan oleh Institut Kapal Perempuan. Di mana Misiyah, direktur Kapalmengungkapkan ada 824 tulisan yang diungkapkan oleh para perempuan di komunitas ini sebagai bentuk “uneg-uneg” positif.
Maka ketika muncul dalam perbincangan kecil, setelah acara pokok seminar berakhir, antara Deputi KPPPA Agustina dan beberapa orang Kompasiraner, termasuk Maria, seorang guru SMK Bekasi dan saya, mengemuka dari pembantu Menteri ini, “Coba kalau guru-guru menulis tentang persoalan ini. Lalu ditularkan untuk memberi pengetahuan kepada sesama,” pinta Agustina.
Kekerasan terhadap anak dan perempuan secara nyata, pada galibnya sebuah tindakan yang tak berhenti ketika pelakunya diberi sanksi. Karena, terutama, pada korban jika ia seorang anak yang masih labil dalam jiwanya. Terornya berkelanjutan, dan bisa hingga sepanjang hayatnya – seperti dinyatakan nara sumber dosen maupun psikolog: Dr Sri Astuti (Uhamka) dan Vitria Lazarini (Yayasan Pulih). Apalagi, di era internet sekarang ini.
Di mana gampang dilakukan oleh anak-anak yang lebih wellinform.Meski tidakannya tidak tepat karena masih sedikitnya pengetahuan tetang “salah-benar”. Oleh karenanya, jika keinginan KPPPA bersosialisasi melalui guru dan tulisan ini menjadi sebuah jalan cerdas, dan ini sudah dilakukan seperti dalam seminar kali ini.
Tak berlebihan bila Kompasiana – dengan blogger Kompasianernya di kisaran 320 ribu – untuk menyebarkan pencegahan terhadap para predator yang ada di sekitar kita. Karena, seperti niat dari mengakhiri kekerasan bukan hal mudah dan bahkan tak bisa mengakhiri benar-benar sampai titik nol. Membutuhkan partisipasi nyata banyak pihak, seperti dinyatakan kemeterian ini sejak tahun 2016, semisal: organisasi keagamaan, masyarakat, promosi, dunia usaha, media massa, dan teman blogger.