[caption caption="Tiga wanita: Bu Pat, Bu Pingky dan Dissa. (foto Rushan N)"][/caption]Orang di pojokan TVRI itu menggerak-gerakkan “tubuhnya”. Mungkin persisnya wajah dan tangannya. Karena kecil dan ini tentang berita, kita, pemirsa, tak tahu persis apa yang dikatakannya.
Dan hari itu, Minggu 10 April 2016 saya bersama Ketapel bertemu dengan orang yang “berperaga” di acara berita TVRI. Oh, itulah maksudnya. Dan lebih banyak lagi tentang apa itu bahasa dari orang tuli. Orang tuli? “Ya, kami tak keberatan dengan sebutan itu. Itu lebih baik daripada tuna rungu,” sebut Pingkan Carolina yang akrab dipanggil Pingky. “Orang tuli sama seperti manusia biasa. Hanya, mereka tuli,” lanjut wanita energik dengan mengekespresikan tiap oral bahasanya. Karena, ia selama ini telanjur lebih berbahasa “jari-jari”.
Ini sebuah liputan kecil di sebuah tempat yang agak pojok yang pertama kali bagi saya. Sebutan tempatnya saja Gang Pinang, Pamulang Timur meski menggunakan nama Deaf Cafe Fingertalk. Namun di tempat resik dan artistik itulah saya menemukan “bahasa jari-jemari” yang menarik. Disebut menarik, karena tiga orang nara sumbernya memang berkompeten. Selain Bu Pingky, ada Bu Pat dan seorang wanita muda energik: Dissa Syakina.
[caption caption="Dissa, pulang kampung dan membangun Fingertalk (foto: Rushan)"]
“Cafe ini biasa. Hanya pekerjanya orang tulis,” tutur Dissa. Menggembirakan, karena upaya sampingan ini disambut baik. Buktinya sudah break event point alias balik modal. Sehingga ingin membuka cabang sebagai bentuk pengembangan fingertalk. Karena sesungguhnya, para anggota fingertalk ini bisa menjadi programmer computer, misalnya. Dan itu yang ingin dikembangkan Dissa. Sebagi mimpi-mimpinya untuk mengangkat marwah mereka yang “kurang” itu.
Bila menyebut Fingertalk, tentu, menyertakan nama Dissa. Wanita berjilbab yang menguasai empat bahasa asing plus bahasa isyarat. Pada bahasa isyarat, tersebab ia bak ingin menyempurnakan dalam berkomunikasi dengan para disabilitas (penyandang cacad) ini. “Saya pulang kampung, dan ingin membangun ini,” kisahnya di mana Cafenya akan berulang tahun. Sementara ia sendiri pada saat ulang tahunnya akan terbang ke luar negeri untuk “tugas” sejenis yang lebih penting.
Bahasa Kemanusiaan
Ternyata, bahasa bagi saudara-saudara kita yang tuli ini, oleh Bu Pingky disebut sebagai bahasa versi di fingertalk. Yang mana boleh jadi di tempat lain, agak rada-rada berbeda. Maka ketika sesi diskusi resmi usai, ia menjelaskan. Bahwa, tetap punya semacam bahasa baku atawa modul bagi para mereka yang bergabung di Fingertalk. “Semisal saya mengatakan biru, ya mereka mengerti itu biru. Bahwa birunya biru laut atau biru langit, ya itulah kenyataannya.”
Bu Pat Setyowati lebih menarik lagi. Dengan keterbatasan, beliau menjelaskan kiprahnya selama ini. Pernah mengajar di SLB, dan di Finertalk lebih eksploratif. “Ini berkait dengan Indonesia yang kaya dengan ribuan pulau dan banya budayanya,” sebutnya.
Wanita kelahiran Pekalongan ini pun punya keterampilan lain. Yakni mengajar di komunitas ini bagaimana menyulam dan sejenis pekerjaan untuk, terutama kaum wanita. Di samping, memang ada di antara mereka yang piawai membatik. Selain menunggui sebuah cafe dengan bangunan joglo yang nyaman.
[caption caption="Suasana diskusi di Deaf Cafe Fingertalk. (foto: Gapey)"]