foto diambil dari: gurusmp5.wordpress
ADALAH Hendarman Supandji, Jaksa Agung yang pada 2008 sempat meresmikan Kantin Kejujuran ke-1.000 di SMA Negeri 42, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Sebuah niatan, untuk “mengajarkan” kedisiplinan dalam soal kejujuran. Yakni, di mana di kantin yang “menjual” sarana menanggulangi kelaparan selama masa sekolah para siswa: makanan dan minuman. Juga kebutuhan siswa atau mereka yang ada di lingkungan sekolah.
Bagaimana hasil Kantin Kejujuran – selanjutnya KK? Boleh jadi, benar: banyak yang jujur hingga hari ini. Di mana sebagian mungkin sudah ada yang bekerja secara jujur – setelah pernah menggunakan KK beberapa waktu lalu. Namun bisa jadi juga ada yang tidak jujur. Mengingat kesebalikan jujur, tentulah ketidakjujuran.
Sederhana saja KK itu. Yakni di kantin di lingkungan sekolah “menjual” makanan dan minuman tanpa ditunggui sebagaimana sebuah transaksi antara penjual dan pembeli. Siswa, sebagai pembeli, tinggal meletakkan atau menaruh uang sesuai tarif makanan – terutama—atau sesuatu yang dibeli di situ. Tanpa kasir, istilahnya. Semisal harga makanan itu seribu rupiah, ia cukup membayar sebesar nilai itu. Lalu, tidak mengambil jumlah – misalnya dua atau tiga – makanan tersebut dengan hanya membayar untuk satu harga makanan.
Bagaimana mengindikasikan KK itu berhasil? Tentu saja modal makanan dan minuman di KK itu tidak menjadi mengecil, namun justru bertambah. Karena sebuah transaksi yang “moderat” ya seperti itu. Sehingga tidak membuat KK, bangkrut, misalnya.
Visi dari KK, jelas. Untuk mendidik – atau mengajaklah – generasi muda jujur. Gagasan lingkungan Jaksa Agung itu mengingat korupsi sudah menuju bobrok. Di negeri ini apa yang tidak dikorup? Memang, tidak cukup mengatakan: susah mencari orang jujur di negeri ini. Karena kenyataannya, delapan tahun berlalu, perihal orang korupsi menjadi-jadi. Juga dilakukan dengan piawai dan berbagai modus yang kreatif. Orang untuk berbohong kan selalu ingin membuat kebohongan berikutnya, kata orang bijak.
Entah karena menjadi rutin, KK tak begitu berhembus. Setidaknya, adem-adem saja berita tentang KK ini. Jelas, kalah dengan hal-hal yang aktual sekarang. UN atau Ujian Nasional yang ditengarai ketidakjujuran dengan “membeli” jawaban soal UN. Atau, siswa membawa alat untuk bisa mencontek saat mengerjakan soal UN itu. KPK, menurut Dedie A Rachim, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masayarakat KPK disebutkan, hanya beberapa KK yang berhsail. “Tak semua bangkrut, tapi banyak yang bernasib seperti itu, bangkrut,” tuturnya akhir tahun lalu, 2013.
Mengaca dari KK, sebuah gagasan atau test case atawa sebuah upaya pendidikan kejujuran ini, semestinya baik, benar dan edukatif. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari, kita mengharapkan kejujuran. Pribadi-pribadi dan kemudian kelompok, lalu hingga “bangsa” jujur, tak pernah bangkrut untuk sebuah kejujuran. Sayangnya, ketidakjujuran itu “diajarkan” oleh mereka – pemimpin dan orang pengambil keputusan – yang semestinya melakukan tindakan kejujuran secara baik, benar dan bermartabat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H