[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Idris Sardi (KOMPAS.COM/IWAN SETIAWAN)"][/caption] Obituari
Idris Sardi, Menggesek Biola untuk Tuhan
***
Pengantin Remaja, Perkawinan, Cinta Pertama, Doea Tanda Mata adalah judul-judul film yang mengantarkan nama Idris Sardi sebagai salah satu langganan Penata Musik Terbaik dalam Festival Film Indonesia. Di era (70-80-an) itu, rasanya kita hanya akan mendengar dan membaca nama Sang Maestro Biola “pengisi” musik film dari sineas-sineas Wim Umboh, Teguh Karya, dan seangkatannya.
Perjalanan Idris sendiri kelewat panjang untuk kita dapat mengenalnya. Setidaknya, sejak kecil lelaki kelahiran Jakarta ini mengenal alat gesek yang tak sebanyak alat musik yang lebih “mudah” dimainkan semisal gitar. Ya, jika di usia belasan, ia sudah “memimpin” dan menggantikan ayahnya yang menurunkan keahliannya berbiola itu.
Jadilah, beberapa kali saya bertemu dengannya, utamanya berkait dengan kepiawaiannya menggesek biola mautnya, meski soal bermusik tak bisa dipisahkannya. Alhasil dua ratusan karyanya hingga kini masih bisa dinikmati. Termasuk karya-karya tentang keindonesiaan. Saya, sebagai pengejar berita, bersinggungan dengan lelaki yang kupanggil Om Idris. Karena itu, saya cukup akrab dengan kedisiplinannya (malah ada yang menyebut “keras” termasuk kepada anak-anaknya yang dalam pembicaraan dengan kami: saya bangga ada yang menuruni saya. Catatan: maksudnya terhadap Santi Sardi dan Lukman Sardi yang bisa berdiri sendiri tanpa bayang-bayang dirinya). Sekaligus kegemarannya guyon. Hingga suatu ketika saya dengan tim mewawancarainya untuk kepentingan dokumenter tentang film Indonesia.
Ya, tak ada lain nama Om Idris Sardi mengait dengan “Perjalanan Perfilman Indonesia” dari sisi ilustrasi musiknya. Setidaknya itu setelah berdiskusi dengan sineas senior semisal Ali Shahab, dan budayawan serta penjaga film Indonesia SM Ardan (meninggal karena ketika berjalan kaki ditabrak sepeda motor). Ditambah, kerapkali bertemu dengan Teguh Karya di Teater Populer, atau Alex Komang (pemeran terbaik film pria dalam film Doea Tanda Mata). Dan artis senior lainnya, termasuk orang film lama (waktu itu) Misbach Yusa Biran.
“Selamat datang, di sini. Di mana penghuni satunya, si Beauty sedang istirahat, dan yang ada Beast,” sambutnya dengan enteng. Ia menyitir film asing yang sedang ngetren saat itu. Kami melakukan kerja kreatif itu tahun 1998.
Ya, kami yang akan melakukan syuting di rumahnya di Ciganjur, saat itu Om Idris adalah suami dari Marini – penyanyi dan pemain film cantik serta bintang iklan sabun kecantikan. Pembicaraan gayeng, dan didominasi olehnya. Apalagi mengingat narasumber ini, memang diburu untuk berstatement tentang keterlibatannya di dunia musik film – kerap disebut ilustrator. Banyak yang dilontarkan Om Idris dan semua takzim. Atas apa yang diucapkan, baik untuk konsumsi rekaman maupun untuk ilustrasi (narasi) nanti dalam editing hasil syuting. Di tim yang saya bawa, kemudian ada yang menjadi sutradara handal, sekarang. “Dalam kerja, tak boleh setengah-setengah. Mesti tuntas. Ambil contoh. Kita sedang buang air besar. Apa enak kalau kita belum selesai lalu kita... tinggalkan tempat nongkrong kita?”
Kami tertawa dibuatnya. Om Idris kerap membuat istilah sederhana. Meski ia sangat-sangat serius kalau sudah urusan “penampilan” dengan membawa biolanya. Di mana dalam perkembangannya Om Idris menggunakan biola (elektrik) dari bahan fiber, bukan kayu. Ini seperti saat penulis tanyakan apa beda biola lama dengan biola baru itu di sebuah acara syuting tapping di Studio milik Ali Shahab di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur.
Mengenal penggesek biola – yang menurut Lukman Sardi – enggan disebut maestro. Namun sebagai yang berkarya saja. Karena gelar itu terlalu berat. Ia hanya menerima “kebisaannya” itu karena datang dari Atas. Dari Allah. “Saya bermain (biola) buat Tuhan, nggak pantas berani bilang diri maestro.”
Dan, Senin (28/4) pagi sekitar pukul 7.35 lalu, ia -- dalam usia 75 tahun -- ke atas menghadap Sang Khaliq. Selamat jalan Om Idris Sardi. Peluk erat biolanya, dan kami di sini masih dan masih bisa terus mendengar gesekan tiap tarikan jiwa Anda. Sayup-sayup, bisa kita dengar lagu Gugur Bunga ciptaaan Ismail Marzuki dengan gesekannya yang menyayat ...
Telah gugur pahlawanku ...
Tunai sudah janji bhakti ...
***
Angkasapuri, 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI