Minggu pertama (terinspirasi oleh puisi)
[caption caption="dok.kabar-dunia.com"][/caption]
Sepulang dari berkelana, selalu kudapatkan beliau yang terus berkerudung pelangi. Menebarkan wangi tanpa henti: merah-kuning-hijau di langit yang mengharu-biru. “Sini … kuelus tengkukmu. Engkau lelah tak berkesudahan. Dengan tengkuk kian menekuk dalam. Terbebani warna-warni kepalsuan lampu disco.”
Aku menghela nafas. Dari mana Ibu tahu lampu-disco. Lampu-lampunya yang lebih banyak warnanya daripada pelangi. Ah, mungkin kerna Ibu suka memandang pelangi di sore hari. Sambil berdzikir. Menanyakan kabar pada cuaca: “Sedang apa kau, nak?”
Dan selalu tak mampu kujawab.
Ibu bertanya lanjutan: apa benar kau menambahi namamu Seruni? Sehingga menjadi asing bagi telinga Ibu? Menjadi orang kota, “klalen karo sing nggeyong?” lupa siapa menggoyang ayunan saat kaukecil?
Aku memejamkan mata. Mengingat seluruh gerak yang pernah kujalani. Hingga terpelanting menjadi orang yang mengejar orang-orang penting. Untuk dikabarkan tentang kebenaran. Itukah pahlawanmu? tanya Ibu menusuk. Aku menggeleng keras: Engkaulah pahlawanku, Ibu. Yang memperjuangkan kehadiranku ke bumi. Dan sekarang besar karena elusanmu dari tangan kepanjangan-Nya.
Saat-saat berbaring di perutmu yang seluas danau bening, setinggi Gunung Slamet yang kauucapkan untuk keselamatanku sepanjang jalan, aku tak mampu bermimpi melebihi ujung rambutmu yang terus memutih sebersih cintamu. “Boleh Ibu menjewer kupingmu yang dulu jeber?”
Aku mengangguk takzim. Aah, aku tetap mesti mendengar bahasa Ibu.
***