Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Goresan Tukang Potret Keliling

21 September 2014   18:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:02 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14112741241026332338

Buku:

GoresanTukangPotretKeliling

Judul                : Jejak Budaya, Meretas Peradaban

Penulis             : Much. Khoiri

Penerbit          : Jalindo, Satu Kata Bookart, Sidoarjo

Tebal               : 202 halaman

Tahun              : 2014

Cover buku Cak Emcho ( repro:TS)

TUKANG jalan dan pehobi jalan-jalan, banyak. Marak malah.  Termasuk disebabkan tugas, lalu dari satu titik ke titik lain dirambahnya.  Artinya, seseorang itu pejalan “tukang jalan”. Tertimbunlah pengalaman yang mewarnai hidupnya.

Ada menjadi dua: pejalan dan acara jalan-jalannya. Apa seru, tegang, indah dan menggores dalam yang masuk himpunan itu semua? Menjadi biasa-biasa saja. Baru (akan) luar biasa ketika ada di tangan orang yang memotret dan punya bekal menulis dengan jujur. Buku inilah “jawabannya”. Kita tersuguhi potret nan berwarna.

“No way. I will never give any penny to you,” jawab Much Khoiri atawa Cak Emcho, penulis. Itu jawaban saat ia terpepet di daerah Bronx, New York ketika terpisah dari teman-teman penulis dari berbagai negara. Dalam kalimat lanjutan: “Saya juga tegaskan, andaikan dia sopan, pastilah saya akan memberinya – (kalau di Bronx, tip liar anak jalanan sekitar 10-15 dolar), Halaman 29.

Jelas, itu pengalaman tak biasa, terlebih bagi Cak Emcho yang relatif bertubuh tidak tinggi di wilayah slum. Namun ia berani menghadapinya, dengan jurus a la Bruce Lee (orang Asia yang punya kepiawaian kungfu atawa beladiri). Dan kalimat lanjutan menegaskan, ia (yang berasal dari Jawa Timur) sesungguhnya sudah berbekal pengetahuan apabila melintas di daerah berbahaya. Termasuk bersedia memberi sejumlah uang kecil bagi pemalak atau pengompas di kawasan berbahaya itu.   

Lalu, pengalaman menegangkan saat numpak pesawat terbang “Pengalaman Terbang Paling Menegangkan”, dalam kesimpulan – pasca kejadian – yang hanya bisa dicapai oleh seorang penulis: “Ratusan penumpang ini tampak seperti kalifah yang berjalan beriringan, dalam hembusan angin yang amat dingin.”  Jelas, di samping sebuah pengalaman (dari jalan-jalannya) tidak sembarang orang mengalami dan melewatinya. Dan dari tulisannya, bagi yang membaca tulisan-tulisan dalam buku ini ikut merasakan apa yang dipotretnya.  Tegasnya: menyerap tanpa disadarinya – dan itulah pesan dari sebuah tulisan bernas. Menghunjam dalam.

Sesungguhnya Cak Emcho tidak hanya mengembara dan memotret serta menuliskannya dengan narasi pengalamannya itu. Karena pengembaraannya bisa jadi ada di sekitar rumah sendiri – notabene bukan acara jalan-jalan secara an sich. Ini bisa diintip dalam tulisan Rumah Kami Kembali Sepi: “Saat demikian kami membayangkan, kami menjadi (lebih) tua, sementara anak-anak suatu saat akan membangun keluarga mereka masing-masing.” halaman 155.

Dalam Menghitung dan Menghargai Waktu – masuk bab Jejak Etos-Inspirasi – kita diberi gambaran lain lagi. “Waktu janganlah dibuang percuma, atau dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang mubasir. Banyak acara TV yang sampah, demikian pula koran-koran sensasional, dan itulah yang wajib kutinggalkan. Sebaliknya, aku wajib “membaca” kitab hidup yang mencerahkan dan menggerakkan gairah, halaman 129.

Tidak mudah untuk menyimpulkan, jenis apa tulisan-tulisan penuh warna ini. Apakah catatan harian, laporan perjalanan dan esai? Meski sangat mudah ditabalkan seperti tajuk buku ini: Jejak Budaya. Cak Emcho sedang berbagi pengembaraannya, hampir semuanya tanpa sengaja: tersebab “pekerjaan” atau personal berjaket budaya. Namun yang jelas, karena ia seorang pemotret dan sekaligus mencatat dan menyajikan dengan gurih, untuk amat sayang melepaskan deretan kalimat dari sederet  judul tulisan yang ada. Andai ini sebuah kesimpulan: kita digeret masuk dalam “peradaban” yang mencerahkan dan mendalam. ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun