foto: assets.kompas.com
Bum!
Ratri menghentakkan kaki ke tanah. Kedua tangannya terkepal. Dadanya naik-turun. Nafasnya pelan-pelan mendatar. Tinggal matanya yang mencorong. “Huh!” dengusnya.
Ratri benar-benar kesal. Tokoh yang diperankannya, bagai menjauh ketika Eyang Darmo menegurnya. Kamu kurang penghayatan. Ndak seperti itu, Wong Jawa Timur. Lembek. Arek iku ndak kenal nangis.
“Andai Eyang nonton tivi. Eyang akan tahu siapa Ratri. Pemeran film penting,” desis gadis semampai itu.
Namun ia diam manakala dari arah belakang, terdengar tongkat yang terseret-seret. Ia menghela nafas dalam-dalam. Apalagi, ini?
“Kamu kurang satu saja, putuku sing ayu!” ucap lelaki bertongkat yang sudah berdiri di sampingnya.
“Apa?” ingin Ratri bertanya. Namun ia diam saja.
“Lihat!” kata Eyang Darmo. Dan Ratri melihat eyangnya melepas tongkat. Lalu badannya menegak. “Biarpun matahari muncul dari barat, kautetap Indonesiaku!”
Ratri melongo.