NANGKRING-nya Kompasiana Jumat keramat (29/8) di Penang Distro di Kebayoran kawasan Jakarta Selatan, setelah hari gelap dan diguyur hujan. Itu sebagai pertanda, energi yang mau tidak mau dikonsumsi seluruh warga negeri ini dalam sehari-hari akan dinaikkan harga? Meski acara dan tajuknya sejuk: “Membincangkan Elpiji Non-Subsidi”.
Ternyata elpiji 12 kg yang akan dinaikkan. Mungkin tergantung dari Farah Quinn. Lho? Iya, wanita yang aksen dan bahasanya sesekali terselip kosa kata Inggris itu, sebagai nara sumber dan menyebut, “Dalam memasak, perlu higenis,” aku wanita yang malam itu berok hitam terusan bawah kembang nangkring di kursi tunggal. Ia bersama dengan orang Pertamina bidang Manajer Media Pertamina Adiatma Sardjito yang menggantikan Vice Presiden Pertamina Ali Mudakir dan moderator Heru Margiyanto dari Kompas.Com.
Farah? Nggaklah!
Saya tidak tersasar dalam hal ini, walau untuk menuju tempat nangkring perlu berbasah-basah tersepuh air hujan, dan mesti berganti dengan kaus yang disediakan panitia. Bahwa benar, elpiji yang satu ini mestinya dinaikan sebelum Lebaran lalu, 1 Juli 2014 malah. Sedangkan yang 3 kg itu bukan konsumsi sang chef Farah Quinn, seperti yang diakuinya: “Saya memakai yang elpiji 12 kilogram sejak awal.” Nah!
Maka penjelasan Pertamina yang dalam hal ini diwakili Pak Adiatma – dengan jawaban-jawaban taktis itu segera mendapat respon – pertanyaan para Kompasianer yang dialokasikan 100 orang oleh Kompasiana. Macam-macam, dan cerdas-cerdas – yang bisa setengah menggugat. Agak berbeda dengan pertanyaan awak media mainstream. Namun sebagai warga biasa yang kepentingannya jelas berbeda dengan media “resmi”.
Perkara ini mestinya menjadi klasik. Mengingat hitung-hitungan, sudah lama perlu suntikan (harga) konsumen kalau tak ingin rugi per tahun 5 triliun. Ya, lima triliun atawa kwartal pertama tahun 2014 ini saja sudah di angka gawat: 2,81 triliun. Jika terus-terusan? Parah. Padahal, ini gas yang tidak disubsidi. Artinya, mandiri. Lalu, kalau tak digenjot ke atas? Karena pertimbangan pencitraan Pemerintah? Entahlah, untuk dikaitkan dengan politik ini.
Yang jelas, Farah Quinn tak perlu menjelas-jelaskan hal rumit yang bukan keahlian dalam goreng-menggoreng harga elpiji (media) kompornya. Yang penting, kompor menyala sehingga nggak gosong atau bantat karena gas elpiji tiba-tiba habis saat memasak. Namun kenapa "sosoknya" perempuan dijadikan model dan tabel yang disorotkan di sisi kirinya, di malam nangkring itu. “Ia mungkin yang akan menjadi bintang iklan layanan masyarakat dalam soal kenaikan elpiji dua belas kilo ini,” bisik Kompasianer di samping penulis di keremangan Distro cukup mewah itu.
Tentu saja, saya mengiyakan, dan rada meyakini. Tapi tak pentinglah. Yang penting, bahwa elpiji ini yang konon hanya di kisaran 15 persen penggunanya dibandingkan dengan gas melon 3 kg yang mayoritas, jika memang harus naik, naik sajalah. Bukankah gas elpiji 12 kg ini memang bukan untuk konsumsi rakyat kebanyakan. Mengingat, bagaimanapun Negara tak perlu rugi, meski tak membangkrutkan secara masif. Apa iya?
Harga gas ini, seperti dijelaskan nara sumber Pertamina malam itu, per kilogramnya Rp. 6.100. sedangkan harga keenomiannya Rp. 12.100. Nah, jelas perselisihan harganya yang enam ribuan itu bisa memberatkan Pertamina. “Harga keekonomian elpiji 12 kg sudah jauh dari harga yang dijual saat ini,” sebut Menko Perekonomian Chairul Tanjung di luar acara nangkring. Artinya, Pemerintah setuju. Kalau Pertamina menaikan harga gas berkilogram empat kali lipat yang tabung melon itu.
Meski, untuk kenaikan itu perlu pertimbangan psikologis. Tak perlu ngegas langsung naik di angka rasional bisnis (keekonomian). Mengingat, ini persoalan warga Negara – walau disebut konsumen gas elpiji tingkat menengah atas – juga. Jadi, ya pakai angka smooth-lah, lembut. Naiknya pelan, semisal di bawah ini:
Acuannya cukup realistis. Setidaknya ada pegangan Surat Pertamina kepada Menteri BUMN dan ESDM No. R 004 per tanggal 15 Januari 2014. Bahwa dengan tahapan (kenaikan harga elpiji 12 kg) di atas, Pertamina tak semena-mena. Memberi ruang waktu dua tahun ke belakang. Jadi, bukan soal Farah Quinn hadir sebagai penyebab atawa pertimbangannya menaikkan elpiji bertabung biru. Biarkan Sang Koki memasak lezat, dan tetap dengan masakan higienis yang dihasilkan oleh tangan halusnya.
Acara Nangkring dengan Pertamina: Farah Quinn, Adiatma dan moderator Kompas.com. Kompasianer antusias dalam soal hajat gas elpiji 12kg yang semestinyalah naik harga ketimbang negara tekor. (foto: Rahab Ganendra)
Nah, jelas.
Menjadi tidak jelas, jika diombang-ambingkan – terus-menerus. Mengingat disparitas harga dengan elpiji 3 kg, ini bisa mengundang kening berkernyit. Kenapa? Watak pengoplos atawa yang seneng memainkan dalam kesempitan. Yakni dengan satu komoditas dengan dua harga bisa menjadi pemicu kekisruhan di lapangan – persisnya di masyarakat, kok. Di sini perlunya Pemerintah dan Pertamina untuk mempertimbangkan gap antara dua komoditas tersebut.
Artinya menjadi semakin jelas, dan perlu. Segera ambil tindakan. Diputuskan saja. Sret, sret! Mengingat selama ini distribusi elpiji dilakukan secara ngablak alias terbuka. Di mana fakta yang terjadi, masyarakat bisa membeli gas yang bersubsidi dengan mudah. Dan ini, sempat membuat panik di beberapa titik wilayah. Sementara, tangan-tangan jahil, bisa bermain dengan “kreatif” yang bengkok. Lha, bagaimana nggak? Mereka membeli atau menggunakan elpiji 3 kg untuk dioplos menjadi 12. Trus? Jawabannya gampang: menjualnya dengan harga nonsubsidi.
Oleh karena itu, kenaikan elpiji ini sebuah keniscayaan. Tak usah dikait-kaitkan dengan Farah, toh? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H