Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Di Candi Cetho, Perlu Menghormati yang Percaya. Kalau Tak Ingin Menanggung Bala

29 Juni 2014   06:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:20 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KABUT menyergap, mobil merayap dengan megap-megap. Hawa sejuk ke arah dingin pun merambati lengan. Mengelus-elus. Kami berdoa agar kendaraan kami tidak mundur. Sangat lucu, mobil bagus jalan mundur, ngglundung. Dan kisah dalam tulisan ini, bisa tak ada.

Dengan saling diam di mobil, maksudnya berdoa, tikungan Dusun Gumeng, Jenawi, Ceto itu pun kami lewati. Namun jalan menanjak masih belum aman, di mana aspal jalan mengelupas di sana-sini. Kami masih perlu hati-hati, menyerahkan kepiawaian sang sopir menghela mobilnya. Baru sedikit lega ketika di depan muncul pelan-pelan pucuk gelap candi saat awan tertiup angin. Lalu mobil diarahkan oleh juru parkir: ke kanan.

“Alhamdulillah …,” desisku yang diamini kompasianer satu mobil. Kami turun, dan saya segera mencari toilet umum, khas di sebuah tempat sederhana di ketinggian 1.496 meter Dpl (Di atas permukaan laut). Pipis dulu. Menghilangkan ketegangan pula.

Kami ke arah jalan, dan menunggu mobil putih matic di belakang kami -- rombongan Deltomed Visit dan Wisata Solo. Lebih parah. Dengan lampu menyala, mobil diam, kulihat dari jarak 120an meter. Bahkan kemudian seperti siput, antara diam dan bergerak. Beberapa saran – yang jelas tak terdengar oleh mereka: kompasianer dan Deltomed, Ika Pramono dari Inke Maris di mobil – dilontarkan. “AC dimatikan …penumpang turun …!” seru suara di dekatku.

Rupanya mobil bagus, baru dan matic tak berkutik. Ketika penumpang-penumpang wanita turun, ia baru bisa bergerak: di belakang Agatha, Ika yang jalan terengah-engah. Hingga tiba di depanku dan teman yang lain, layaknya orang kota jarang jalan naik panjat gunung. “Haaduuuh ….”

Menghormati yang Lain

Sebelum kami naik ke Candi yang berubah-ubah: kadang tampak, kadang menghilang diselimuti kabut ketika hari sudah siang. Kami yang beranjak dari hotel di Solo, siap-siap ke atas. Bersamaan itu, menderu-deru atau lebih tepat meraung-raung suara kendaraan bermotor. Kami pun menatap ke bawah. Ternyata serombongan pengendara motor trail berhamburan. Komunitas bikers: pengendara laki-laki dan perempuan yang di boncengan sambil memeluk pinggang sang pengendara. Oh, asyiknya, tentu.

Pak Ben yang tidak langsing, harus berjuang untuk naik di pintu gapura pertama candi yang diperkirakan dibangun pada abad lima belas Masehi terengah-engah. Sama seperti Gapey yang biasanya suka nyeletuk: harus mengatur nafas tersengalnya. “Spanduk, mana. Bentangkan!” pintaku kepada Sulhan Rumaru, kompasiana. Rasain, hehehe. Kok kelupaan, sehingga mesti mengambil di mobil alias harus turun sedikit. Ya, untuk menandai kami benar-benar ke Candi Cetho yang berada di wilayah Desa Cetho, Karangpandan, Karanganyar, Jawa tengah.

Penulis jadi model, nih. Fotografernye Om Gapey. (foto: Gapey Sandy)

Di papan sisi kanan awal kami melewati gapura pertama, ada sehimpunan kisah tentang Candi Cetho. Lumayan sebagaimana referensi tentang tempat kuno dan “bersejarah” itu. Di mana ada setumpuk kisah yang mengiringinya. Sejarah dari sejarah Candi itu.

Van de Vlies, satu di antara yang tertera sebagai yang ngurus Candi ini. Setidaknya di tahun 1824 Masehi (era Pangeran Diponegoro, ya?) ia sudah benah-benah. Ada pula  A.J Bernet Kempers mengorek-ngorek secara ilmiah, selain Pemerintah kita waktu itu alias Hindia Belanda dalam hal ini Dinas Purbakala, yakni tahun 1928. Ya, semacam restorasilah, karena mesti digali dari yang berantakan dan “disusun”. Sehingga sekarang terbentuk sebuah Candi Cetho. Candi yang kini punya Sembilan undakan itu.

Maka kadang mikir, tempat wisata nun di tempat sunyi di sisi barat lereng Gunung Lawu ini kenapa masih ada saja tangan-tangan jahil – mencari popularitas yang nggak nggenah, nggak jelas. Corat-caret dan sejenisnya. Padahal, sudah ada papan pengumuman atau larangan dengan mengutip UU pula. Bahwa Candi ini tak cuma sebuah tempat wisata seperti sekarang ini. Namun “tetap” sebuah tempat ibadah bagi mereka yang “punya candi” sebagai tempat ibadah. Sehingga penulis sempat ditawari untuk “berdoa”. Menurut lelaki berpenampilan sederhana berbaju gelap yang akan memandu bagi yang ingin berdoa, “Masuk pintu yang terutup itu, namun bisa dibuka kalau Bapak mau berdoa,” ujarnya dengan suara ditekan.

Saya menolak dengan halus. Di satu sisi, saya menghormati bagi orang yang ingin berdoa – konon sudah menjadi tradisi orang-orang tertentu – untuk “meminta” dalam ritualnya itu. Entah seperti apa cara yang dilakukan para penganut Kejawen, karena saya berdoa atawa sembahyangnya bisa di mana pun dalam lima waktu shalat.

Kenapa mesti menghormati bagi mereka yang punya keinginan di tempat yang telah ada beratus tahun? Karena bisa banyak kemungkinan di tempat-tempat lama dan sunyi. Bahkan itu diakui oleh teman kompasianer – setelah ia berkata dengan kosa kata yang tidak elok. “Saya langsung dingin, dan segera turun untuk minum minuman hangat,” tutur Gapey Sandi, serius.

Candi Cetho yang sepelemparan batu dengan Candi Sukuh, punya juga simbol-simbol serupa. Setidaknya ada simbol phallus (alat kelamin laki-laki). Toh, di sini ada relief-relief yang bisa menggambarkan pemahatnya dari kalangan Hindu, tentu. Semisal adanya katak, atau patung menyerupai bulus atawa kura-kura. Pada yang terakhir ini, lambang penciptaan alam semesta.

Menyeruput Teh bak Seorang Ndoro

Kami tak ke Candi Sukuh yang punya simbol (candi) perempuan dan laki-laki dan kerap disebut Candi Saru alias porno. Kami langsung turun untuk ke Solo. Dan atas rencana yang dibuat Agatha (Deltomed), kami singgah di Rumah Teh Ndoro Donker. Ah, serasa di daerah onderneming. Hawa sejuk meski hari telah dipayungi matahari di atas kepala. Perdu-perdu teh yang hijau, bagai permadani mengelilingi bangunan yang didominasi putih –baik jendela-pintu maupun dindingnya. Juga kursi dan meja. Sementara mobil bersliweran sesekali di depan jalan raya dengan deru yang begitu indah: tak hiruk-pikuk.

Rada kikuk juga memesan teh di sini. Mengingat ini bukan cara minum teh biasa (ya, sebab teh pilihan dan harganya punya pilihan). Apalagi, banyak pengunjung yang seperti menikmati sebagaimana lazimnya seorang Ndoro alias priyayi. Aku sungguh menikmati, dan mengambil gambar bukan seperti teman-teman kompasianer lakukan. Ini dia, mereka seperti enjoy banget. Menyeruput teh dan memandang sekeliling nan hijau.

14039727611260185911
14039727611260185911

Menikmati teh dengan gaya Ndoro sambil menikmati hijaunya perdu teh. (foto:TS)

Rasanya ingin berlama-lama di tempat yang membuat mata tak sepet – layaknya orang Jakarta yang setiap waktu di jalanan dipenuhi asap kendaraan. Seraya ngeteh dan bercemilan makanan Jawa walau dikemas dengan modern: tahu dan ketela ubi. Ya, kami menyesap teh Raja – nah, kan? Soal harga? Per teko sampai Rp. 45. 000, 00.

Perbincangan pun menghangat. Walau sesekali terjadi gaya jurnalis warga. Termasuk saya mengerjai Joshua yang selalu gatel dengan camera. Ya, kutantang ia mengambil gambar – yang sekelebatan indah apabila diambil dengan sense of art yang bener. Angle yang pas. Walau untuk itu, ia makai berguling di rumput segala – untung panas tak menyegat kulit putihnya. “Asyik, aku belajar lagi soal foto,” kicau Joshua, cerah. Dan memperlihatkan ke teman-teman kompasianer dan admin kompasiana.

Mobil yang diparkir di hamparan perdu teh, pelan-pelan mesinnya dihidupkan. Pelan-pelan, saya menikmati arti hidup di wilayah Karanganyar. Adakah hal anyar nanti sepulang dari acara berkat PT Deltomed Laboratories ini? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun