Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dan Risma pun Menagis

18 Februari 2014   18:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WALI KOTA wanita Surabaya ini saya tonton di Mata Najwa, Metro TV pekan lalu. Saya bisa melihat dan membaca bahasa tubuh Tri Rismaharini, sang wali kota yang masuk kategori “terbaik” dunia dari negeri ini, ujung timur Jawa. Berulangkali ia menyatakan, saya sering menuruti kata hati, di antara derai airmata seorang pemimpin yang dengan tampilan sederhana, meski kadang bisa meledak dengan kemarahannya apabila melihat ketidakberesan di lingkungannya kerja. “Saya sudah tidak punya apa-apa. Semua untuk Surabaya,” katanya dengan desah kecil.

Risma mempertimbangkan untuk mundur setelah gonjang-ganjing perihal pengangkatan Wakil Wali kota Surabaya dari partai PDI Perjuangan Whisnu Sakti Buana. Bahkan ia yang tidak menghadiri pelaktikan wakilnya itu, seperti memperjelas “sikap” yang (akan) diambil itu. Termasuk ketika menghadapi pertanyaan cerdas dan menukik dari Najwa Shihab.

Saya, sebagai lelaki, pun tak bisa tidak ikut merasakan apa yang dinyatakan Risma. Terutama saat ia menjelaskan perihal penutupan lokalisasi Dolly yang sama sekali tak pernah kuinjak itu. Awalnya, kata Risma, saya justru menolak ketika “sarang PSK” itu akan digusur, sedangkan Gubernur setuju untuk dibumihanguskan. “Saya masih punya filenya,” jelas Wali kota yang berubah pikiran karena ia bertemu dengan anak-anak wanita seperti dirinya sekitar lokalisasi yang hendak dijual atau untuk dilacurkan oleh orang-orang dekatnya. Mungkin, inilah yang sulit untuk diterima pihak lain, yang tak setuju apabila lokalisasi WTS ditutup hanya akan menyebar para “pekerjanya” ke jalanan. Itu sebuah hukum di dunia hitam, apalagi Dolly disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara.

Kedua, saat ia secara blessing in disguise. Di mana ia bertemu dengan pelacur tua (enampuluhan) yang tak kunjung insyaf dan menuding bahwa “Pemerintah” Surabaya hanya bisa membual saja perihal penutupan lokalisasi. Di mana, di luar dugaan saya (penulis), pelacur tua itu menyebut bahwa komsumen -nya adalah laki-laki: anak SMP yang cukup dengan membayar seribu rupiah.

Maka sampai di sini, saya bisa mengerti. Betapa sulit, Risma dihadapkan pada kenyataan semacam itu. Lebih-lebih, ia memikirkan “Surabaya” dan seisinya. Di antaranya anak-anak yang diasuh, disekolahkan dan diopeni untuk tidak menjadi “gelandangan”. Singkatnya, bila ia berhenti jadi wali kota, apakah “mereka” akan diperhatikan?

Najwa, cerdas. Ia pun menyatakan sebagai pertanggungjawaban sebagai orang media. Ia merasa bersalah kalau tidak ikut mendorong, bahwa jalan yang akan ditempuh Risma itu kurang bijak. Di sini Risma terpojok. Hanya mengalirkan cairan bening menelusur melalui kedua pipinya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun