Cerita Minggu Pagi 32
Terlalu dini ia bangun. Angin dan gelap masih menyelimuti. Dingin agak. Meski bukan itu yang menyelimuti hatinya. Simpankangennya itulah yang melewati telinga dan menusuk masuk belum juga keluar bersemayam.
“Aku mesti gimana?”
Pertanyaan itu menendang dan berbalik. Ia termangu. Kenapa mesti begini? Lanjutannya yang konyol, ketika ia mencoba meraih kue tart ulang tahunnya yang dibawa ke Kota Kenangan. Menyelinap di sela orang berjajar seperti berebut benda-benda yang ditawarkan di sepanjang jalan terkenal itu. Yang berjarak ratus kilometer dari rumahnya di pegunungan dengan hamparan sawah berundak. Menyerupai lukisan trap dengan garis-garis lukisan alam.
“Aku belikan kaos saja,” sebuah pinta ketika usianya sudah pas.
Dan kaos merah bergambar tokoh kartun itu sekarang dipandanginya. “NgeYogyes”
SMS masuk: teganyaaa...!
Ia menempeleng jidat lebarnya. Hendak segera dikirimkannya sinyal membalas SMS menghujam yang pernah menempeleng dirinya itu.
***
Pagi hari. Ada mentari, tak ada simpati. Tapi mesti eksis. Entah hanya sebuah SMS untuk dikirimkannya. Kepada siapa entah. Karena ia tak ingin dikiriminya. Setidaknya hingga waktu tak tertentu. Kecuali dimintanya ia menahan geram bernama kangen.
“Aku seperti baru punya hape.”