Cerita Sabtu Sore, Mar dan Te
Cerpen Thamrin Sonata
gambar diambil dari: ibizahire.com
INI kisah sepasang kekasih, pada Sabtu sore. Antara Mar dan Te. Saat-saat sama-sama kere. Sehingga bergandengan tangan saja pun, cukup. Dan lebih banyak dengan sama-sama diam. Sesekali saja saling bersitatap. Semuanya terwakili, sudah.
“Antara aku dan kau, seperti ditakdirkan menjadi debu Jakarta ....”
“Kok debu?”
“Karena kita bukan yang berarti di ibukota negara yang sedang dibenahi oleh Gubernur.”
Mar mengernyitkan kening.
“Ada yang salah?”
“Kamu akhir-akhir ini seperti politikus ....”
Aku tertawa, dan segera memotong, “Yang senang berpura-pura baik, pintar ... meski sangar.”
Mar tak kuasa mencubit lenganku. Seperti kebiasaannya jika gemas menyerbu hatinya, kepadaku.
“Begini nih, kalau lagi kere.”
Begitulah, memang.
“Dan sebenarnya lebih banyak kerenya.”
Mar tertawa ngikik.
“Sehingga kita bisanya menggelandang ke Monas.”
“Eh, ini sekarang ini GBK.”
“Iya, sama-sama ada Bung Karnonya, kan?”
Sore itu menggelandang ke Senayan. Bukan untuk beradu bola. Juga bukan untuk menonton sebuah ritual bagi rakyat negeri ini. Olahraga meriah. Murah. Namun ke sebuah pameran buku di Istora. Sebagai sebuah pelarian bagi kami. Ketika sama-sama kere dan lebih banyak tidak memegang uang dalam pertemuan-pertemuan, terutama di Monas. Mencari yang murah, karena tidak usah membeli dari yang dipamerkan. Pada sore melewati tempat lapang. Sebuah niatan bagi kami. Untuk meruangkan keruwetan panjang.
“Kenapa juga aku mau....”
“Ke sini?”
“Ya.”
“Hanya dengan kugandeng, dan tidak kutraktir makan enak, mahal dan tempat yang bergengsi semisal cafe?”
Mar melepaskan tangan yang sedang kugandeng.
“Aku senang, kok Te ...,” desisnya seraya memandang ke arahku.
Aku ambil tangannya lagi. Dan kali ini kudekapkan ke dadaku.
“Ada debar sejuk nggak?”
“Slalu ....”
Ah. Itulah Mar. Yang tak mungkin kusergap hatinya dengan tiba-tiba. Mesti melalui jalan berkelok. Penuh dengan lika dan liku. Penuh dengan pendekatan seperti wajah seorang politikus yang tertangkap basah sedang menipu diri. Ah, tidak. Aku tak pernah menipu Mar. Seperti ajakan ke GBK untuk melihat buku-buku yang dipamerkan. Walau kelak hanya bisa membaca sampulnya yang indah, berwarna dan licin. Karena tak mampu membelinya. Walau sebuah pun, meski ditawarkan dengan harga diskon gila-gilaan.
“Peradaban kita sedang hancur. Orang-orang segan membaca buku. Dianggapnya tidak aktual dengan teknologi berlari ....”
Mar diam, dan sekelebat menoleh ke arahku. Menunggu.
“Apa aku sedang kampanye untuk kamu? Agar kamu yakin kita akan berdua menjalani hidup?”
Mar menggeleng tanpa menoleh ke arahku.
“Aku kan buku yang hampir terbuka sampulnya ....”
“Terima kasih, Mar.”
Lalu, kami sama-sama diam. Lama.
Angin sore di sekitar GBK ada aroma yang sama dengan Monas. Untuk kami hirup sepuasnya. Tidak seperti dalam himpitan ketika berada di busway sekalipun, yang dianggap sebagai salah satu solusi kemacetan Jakarta. Tidak. Hatiku tidak pernah macet, untuk Mar. Gadis yang selalu mengerti apa arti menjalani bersamaku, pada Sabtu-Sabtu sore. Sebagai sepasang kekasih kere. Yang kali ini membeli sebotol air mineral pun dihitung benar.
Kami duduk sebelum memasuki gedung yang memamerkan buku-buku dalam dalam acara pameran. Berselonjor di rumput dan keramik yang menghampar membelah tanah lapang itu.
“Aku sudah membaca buku kamu, walau belum membacanya dalam-dalam....”
“Hmmmm....”
“Kamu bersampul indah, dan enak disimak.”
“Isinya?”
“Complicated ...sengkarut.”
“Kok?”
Aku sebentar menahan. Untuk mengatur nafas. Mengatur himpunan hati. Agar Mar mengerti nantinya. Dalam setiap kalimat berikutnya. Karena di mana-mana, yang namanya menyatukan dua hati bukan perkara mudah. Tidak semata paduan warna sehingga menjadi sebuah sampul yang indah.
“Kamu buku klasik....”
“Bukan pop seperti Mira W atau Marga T?”
“Ow, bukan, bukan.”
“Trus?”
“Danielle Steel ....”
Mar tertawa.
“Kok jauh-jauh. Aku ini minumnya dari air pegunungan Sukabumi, sesekali. Atau dari Pandaan kalau sedang ke timur. Atau Gunung Slamet ....”
Aku tertawa.
“Kok jauh amat ...air Pandaan atau Gunung Slamet ...”
Mar tertawa.
Kami sama-sama tertawa.
Kami tak juga memasuki Istora segera. Lebih berselonjor di rumput. Melihat mereka yang berolahraga berlatih softball. Yang tampak begitu ceria gadis-gadisnya. Yang mungkin tidak seperti Mar yang pulang dan akan tidur di kamar sempit, sendirian. Tanpa aku.
Pelan-pelan, rembang petang mengembang. Sore sempurna, ketika kami masih duduk-duduk. Melupakan buku yang belum sempat kami simak bersama. Mar pun melupakan, dan menikmati Sabtu seperti Sabtu-Sabtu lalu. Ia baru sadar ketika kusodori minum, air kehidupan. Lalu meneguknya pelan-pelan dengan irama leher naik-turun. Halus. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H