Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bung Karno, Megawati, PDI-P, dan Pancasila

10 Januari 2017   19:22 Diperbarui: 10 Januari 2017   19:27 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku yang saya tulis 18 tahun lalu (dok pri)

“Bung Karno bukan penemu Pancasila, tapi Bung Karno adalah penggali Pancasila!” kata Megawati dalam pidatonya di HUT PDI Perjuangan ke 44 di JCC seperti disiarkan secara langsung beberapa TV, Selasa (10/1). Presiden Jokowi pun menyebutkan secara jelas dalam sambutannya. Bahwa 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, seperti kemudian ditandaskan di Bandung setahun lalu.

Sebagai Ketua Umum Partai Banteng mocong putih ini tak bisa dipisahkan dengan “Bung Karno”. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri yang lahir 23 Januari 1947 di Kota Pelajar Jogja adalah anak (biologis) kandung pasangan Soekarno-Fatmawati. Oleh Sang Proklamator digambarkan, penerus ideologisnya,  “Malam itu guntur seperti hendak membelah angkasa. Istriku terbaring di kamar tidur yang telah disediakan sebagai rumah sakit. Tiba-tiba lampu padam, atap di atas kamar itu runtuh, mega yang gelap dan berat melepaskan bebannya, dan air hujan mengalir ke dalam kamar seperti sungai ... Di dalam kegelapan dengan cahaya pelita lahirlah putri kami. Kami namakan M-E-G-A-W-A-T-I.

Megawati berpidato Hut PDI-P ke44 (repro TV One)
Megawati berpidato Hut PDI-P ke44 (repro TV One)
Khas seorang orator. Bahasanya bertenaga. Seperti dalam tulisan-tulisan Bung Karno yang kemudian menjadi buku klasik untuk dikaji hingga hari ini. Semisal DiBawahBenderaRevolusi. Atau yang ini, seperti berbenang merah dengan Presiden kelima dan presiden wanita negeri ini dalam buku Sarinah: Wanita Indonesia, kewajibanmu terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional.

Ketika penguasa Orde Baru tumbang pada Mei 1998, muncullah partai-partai reformis – dan belakangan bertumbangan pula. PDI Perjuangan dan Megawati tetap eksis. Bahkan seperti menyatukan, Megawati ya PDI Perjuangan. Meski kemudian partai ini mengalami pasang surut, serta beberapa orang pentingnya meninggalkan PDI Perjuangan dan atau Megawati: Prof Dr Dimyati Hartono, Kwik Kian Gie, Haryanto Taslam, Erot Djarot dan Laksamana Sukardi. Dengan berbagai alasan, dan di antara mereka mendirikan partai – meski tetap tak bisa berlangsung lama. Ditutup. Sebaliknya, PDI Perjuangan kian berkibar – setidaknya hingga hari ini merayakan ulang tahunnya keempat puluh empat. Di mana ketua-ketua umum partai sahabat (koalisi) PDI Perjuangan menghadirinya bersama 5. 000 orang kader partai yang mengenakan baju merah sehingga JCC bak dibaluti lautan merah.

Pidato Ketum PDI-P (repro TV One)
Pidato Ketum PDI-P (repro TV One)
Jika PDI Perjuangan bisa menyambut ulang tahunnya di tempat bergengsi di JCC dan dihadiri Presiden Joko Widodo, kerap disebut hanya petugaspartai PDI Perjuangan,  karena inilah partai penguasa saat ini . Sebagai partai wong cilik dan kuat berideologi, Nasionalis dan Pancasila, PDI Perjuangan resah dengan perkembangan akhir-akhir ini, yang seolah-olah Pancasila yang digali oleh Bung Karno akan dibelokkan. Megawati pun, terusik pada mereka yang dianggap tak menerima dasar negara kita, dan menghembus-hembuskan isu sara. “Mereka tertutup ...!” dan disambut ger panjang, paham siapa yang dimaksud.

PDIP Perjuangan yang dirawat oleh Megawati – sepeninggal Taufik Kiemas, suaminya – setidaknya kian matang. Dan sebagai ketua umumnya, menjadi ibu bagi para kader yang juga melewati dinamika politik yang berkembang di Tanah Air – di sisi lain, ia seperti Ketum “abadi”. Sebagai partai yang “berkuasa”, tentu, termasuk menghadapi persoalan yang tidak kecil. Meski untuk persoalan pemimpin wanita – seperti di awal era reformasi – tak lagi mendera ke arah pemimpim umumnya. Isu itu tenggelam seiring berjalannya waktu. Isu Sara di era digital berupa kabar “hoax” agaknya menjadi lebih hebat tantangannya bagi Megawati dan PDI Perjuangan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun