BUKU, di satu sisi dianggap serius. Kerap diemohi, apalagi jika tebalnya sebantal. Itu memusingkan bagi yang membacanya. Sebab, membaca sebuah kegiatan nan tak elok dan menyepetkan mata belaka. Berbeda dengan, misalnya, mendengarkan musik. Lebih-lebih di era abad digital ini. Tinggal sebuah elemen disumpalkan ke telinga, bisa dinikmatilah musik. Sambil bergoyang kaki-tangan-kepala.
Buku, di sisi lain sebuah lembaran ketertinggalan, dan perlu dijauhi. Karena buku secara fisik membutuhkan ruang yang kian sempit dalam kehidupan orang modern – yang cenderung hidup minimalis di tengah impitan kebutuhan lain. Sebab, tanpa buku toh tidak akan mati.
Benarkah tanpa buku tidak akan mati? Jawaban pertama: ya. Sebab, buku tak akan dimakan. Jika ada jawaban lain, buku bisa membuat orang mati, karena sebuah buku standar dan bermutu akan memberi nilai tambah. Sehingga ia tak hanya berhenti di sosok fisik seseorang. Di mana di dalamnya, biasa-biasa saja.
Buku, selazimnya sebuah kata benda dan kata kerja. Ia digali dengan kita membacanya secara seksama. Sayangnya, orang-orang negeri ini, hingga kini tetap tertinggal dengan budaya yang satu ini: membaca buku. Indonesia masih di posisi ke-60 dari 65 negara yang minat membacanya tetap statis. Termasuk di bawah tetangga yang sebagian berdarah Melayu: Malaysia.
Data lain, sebuah buku di negeri ini dibaca oleh 4 (empat) orang per tahun. Alias nol, mungkin ya. Itu jika mengacu pada standar UNESCO, di mana seorang selayaknya membaca buku sebanyak 7 (tujuh) judul buku. Njomplang.
Soal njomplang, seperti data yang ada, dalam soal peredaran dan penerbitan buku pun masih berpusat di ibu kota negara: Jakarta, sekitar 60 persen. Jika sudah demikian, maka bisa dipahami. Bahwa buku nun jauh di pelosok sana sangat sulit untuk diakses oleh saudara-saudara kita dibandingkan dengan mereka bisa mendengarkan suara penyanyi kesayangan karena ada teknologinya. Mereka bisa mengenal penyanyi lokal secara persis: bersuara sopran. Atau nama-nama penyanyi berkulit beda, bukan sawo matang, secara umum.
Sabtu, (24/5) melancong ke Istora Senayan dalam acara Jakarta Book Fair, saya tercengang. Betapa sepi pengunjung. Itu membuktikan. Bahwa buku masih diemohi oleh warga Ibu Kota sekalipun.
Bahkan ketika masuk di dalamnya, bertumpuk buku dengan harga kurang dari sebungkus rokok yang dikonsumsi warga negeri ini. Di mana sebaliknya, anak-remaja miskin sudah mulai mengonsumsi rokok dengan terus meningkat jumlahnya. Bahkan tidak mereka yang berada di kota-kota besar saja. Peradaban lain, yang jelas berbeda fungsi: antara buku dan rokok.
Pada bagian lain, buku juga bukan sebuah produk murah. Pada buku-buku nonteks (buku umum) harganya tidak bisa dibilang terjangkau. Untuk mendapatkan buku (baru) seharga Rp 30. 000 (tiga puluh ribu rupiah), sebuah upaya sulit mendapatkan isi (buku) yang bergizi.
Jika pun di kisaran angka itu bisa mendapatkannya, ada penjegalan secara umum. Karena kebutuhan pokok sehari-hari semisal 9 bahan pokok, sebuah kemestian. Maka, upaya buku dan membaca sebagai kebutuhan pokok ke-10 adalah sebuah utopia yang kian kentara. Jauh untuk digapai orang-orang yang berpenghasilan rendah.
Rangkaian ini menjadi jelas. Bahwa buku bukan sebuah kebutuhan bersama di negeri ini, dan urgent. Meski, usaha IKAPI, bahwa dibutuhkan semacam kekuatan untuk menggalang (berkoalisi) dan memajukan masyarakat membaca. Sehingga bangsa ini tidak ketinggalan. Dalam menggali “ilmu” di luar dinding sekolah secara baik, mendalam dan “benar” melalui buku menjadi mendekati kebenaran – sebagaimana lazimnya fungsi sebuah buku. Dibaca karena ada pencerdasan dan perabadan ke depan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H