Di Inbox saya: Buku Bapak ada di National Library Australia, kereeen.
Terlongoh-longoh juga, pesan yang datang dari Fey Down, kompasianer yang paling getol nulis perihal “pembohongan” dan bujuk rayu terhadap terutama perempuan di dunia maya (scammer) itu.
Semula, saya pikir bukunya Thamrin Dahlan, yang pada peluncuran buku Maria Margaretha (Guru Plus) dan Rifki Feriandi (Cara Narsis Bisa Nulis) di Kompasiana, Jumat (15/8). Karena Uda TD, saya memanggilnya begitu, Jumat lalu itu menyebutkan, bahwa bukunya Prabowo Presidenku ada di perpusatakaan di Australia. Pensiunan Polri itu nyaris tak percaya, karena aktivitasnya setelah tidak di lingkungan kepolisian, dan banyak menulis di Kompasiana serta bukunya sampai ke Australia. Setelah saya baca linknya, ternyata buku yang saya editori bersama Moch. Khoiri: 36 Kompasianer Merajut Indonesia dengan kata pengantar Pepih Nugraha.
Buku yang juga menghimpun tulisan Jusuf Kalla dan Faisal Basri, pengajar Universitas Indonesia itu semula bisa disebut sebagai buku keroyokan “biasa”. Meski kemudian oleh Pepih Nugraha, saya disebut editor independen – mestinya hal serupa disematkan kepada Moch. Khoiri, dosen Universitas Negeri Suarabaya (Unnes) yang mengajar creative writing dan lulusan Iowa University, Amerika Serikat itu.
Saya melakoni, dan mengalir saja sebagai apa pun, untuk soal literasi. Ya, ini juga dilakoni oleh Moch Khoiri yang sibuk dan sebentar lagi akan menerbitkan bukunya di Elex, Grup Kompas Gramedia – sebagian sudah dipublish di Kompasiana. Sehingga pas seminggu melempar 2 (dua) buku suntingan saya: buku Maria Margaretha dan Rifki Feriandi yang pernah tinggal di Brisbane dua tahun.
Perihal buku 36 Kompasianer, dari diskusi dengan Pepih Nugraha, agar dijadikan semacam seri penerbitan buku di antara para Kompasianer. Saya setuju, dan sudah mengelompokkan 25 KompasianerWanita Merawat Indonesia, dan sebentar lagi akan menerbitkan “seri” yang lain, September 2014. Pendeknya, sebagai semacam “Melawan Lupa” dengan menerbitkan buku, walau itu namanya indie atawa independen atau apalah.
Oleh karena itu, sampai kemudian nyangsang atau mampir ke Perpus Nasional Aussie, itu sebagai bonus bagi teman-teman yang ramai-ramai menyumbangkan tulisan dalam buku 36 Kompasianer tersebut. Bahwa ada sesuatu yang “ditawarkan” teman-teman Kompasianer dalam bentuk tulisan, dan bermartabat, bermarwah.
Jejak tulisan, yang awalnya seperti “main-main” atau belajar bagi sebagian Kompasianer, sepertinya sebuah jejak langkah berikutnya. Termasuk Maria Margaretha atau Rifki Feriandi dan beberapa teman yang ingin “punya buku” sendiri. Ya, buku dari tulisan sendiri, dengan cara indie atau apa pun. Saya hanya mengiringi keinginan dan niat bermartabat (dan intelektual) itu.
Sebenarnya, bukan sebuah buku sampai ke luar negeri benar, dari sebuah penerbitan diterbitkan. Mengingat ini era abad berlari, era teknologi informasi. Di mana sebuah tulisan, bisa diakses, termasuk melalui medsos. Tentu, Kompasiana pun, ada di dalamnya. Namun sebuah penerbitan buku (fisik) dan berbarcode serta ber ISBN adalah sebuah keniscayaan bentuk lain dari sebuah jejak sejarah dan literasi. Termasuk kompasianer yang berkehendak menjadikan sharing dengan tulisan.
Salam, Kompasiana. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H